Sembilan : Hari-Hari Berat

107 62 25
                                    

Waktu menunjukan pukul 13.21, tetapi hujan di luar sana masih belum reda. Kota hari ini diguyur hujan sejak semalam. Hawa dingin juga semakin menusuk kulit, ditambah lagi ac ruangan membuat suasana semakin dingin. Gadis berkuncir kuda itu masih fokus pada lembaran-lembaran kertas folio yang sudah dipastikan dia sedang mengerjakan lapraknya. Anatomi Fisiologi ini sungguh menjengkelkan.

Semalam ia tak bisa mengerjakan lapraknya karena kepalanya sedang berisik. Dia semalem memilih untuk tidur dan berharap lapraknya tiba-tiba selesai. Sebenarnya tadi pagi ia sudah menyelesaikan tapi lagi-lagi ia harus merevisinya. Sungguh hari ini adalah hari berat.

Dia menghembuskan nafas berat. Beristirahat sejenak sambil menyeruput kopi kaleng yang ia beli sebelum ke perpustakaan tadi. Dia menatap jendela perpustakaan yang mengadap langsung pada fakultas hukum di sana. Dia tersenyum melihat orang-orang yang tertawa di bawah hujan di sana sesekali ia ikut tertawa. Nyatanya bahagia sejatinya adalah sederhana. Ketika hal-hal kecil yang berkesan bisa membuat siapapun bahagia, seperti halnya bermain di bawah hujan seperti anak kecil.

Dia tersadar akan lamunannya ketika music di ponselnya berhenti. Ternyata ponselnya kehabisan baterai dan dia lupa membawa charger ponsel. Dia melepas earphone yang menggantung indah di lubang telinganya dan memasukannya dalam tas.

Belum sempat dia melanjutkan mengerjakan lapraknya, perutnya berbunyi. Sepertinya dia lapar. Dia segera membereskan lapraknya dan beranjak dari sana. Saat sudah di lantai dasar dia segera mengambil payung dalam tasnya dan dia akan berjalan menuju halte bus. Sudah dipastikan dia akan membeli makan di tempat Jeffri.

Bus yang dia tunggu datang. Dia segera masuk dan duduk di tepi jendela. Dia menikmati perjalanan sambil memandangi lalu lalang kota siang itu dan sesekali membuat tulisan di jendela yang berembun karena air hujan. Belum lama dia menikmati perjalanan dia teringat pesan ayahnya tadi pagi.

Ayahnya terus mendesak dirinya untuk mengejar kedokteran lagi tahun depan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ayahnya terus mendesak dirinya untuk mengejar kedokteran lagi tahun depan. Jika boleh jujur Anin lelah mengejar hal yang bukan ia suka. Jika boleh jujur Anin ingin segera bebas dari segala beban yang ia tanggung sendiri. Bukan, bukan ia benci kedokteran. Hanya saja dia tak pernah berniat kuliah di jurusan kesehatan.

Bus itu berhenti di halte dekat warung makan Jeffri. Sebenernya jarak antara kampusnya dan warung makan Jeffri dapat ditempuh dengan 10 menit perjalanan saja. Lumayan dekat bukan?

Gadis itu mencoba memasang muka bahagia saat memasuki warung makan sederhana itu. Warung makan itu cukup sepi mungkin karena sudah lewat jam makan siang.

"Anin? mau pesen apa?" Jeffri menyambut pelangganannya yang satu ini.

"Em... mau nasi goreng magelangan aja. Ngga pake timun ya, pake kol aja hehehe. Minumnya susu hangat aja," Jeffri dengan cekatan menulis pesanan gadis itu. Anin lagi-lagi duduk di pojok dekat jendela. Menatap butiran air yang jatuh dari langit.

"Nin, jangan lupa sesekali bimbel buat persiapan ujian tahun depan"

"Nin, mau coba kedokteran lagi kan tahun depan?"

"Dia gagal karena emang nyatanya ngga mampu"

"Gagal lagi, Nin? Mungkin kamu kurang berusaha"

"Anin? Nin?"

"Hah? ah... udah dateng?" Anin tersenyum canggung.

"Lo kenapa?" Jeffri menarik kursi di depan Anin. Berniat mendengarkan cerita Anin. Barang kali dia ingin cerita.

"Ah, ngga papa" Anin menggeleng pelan sambil meminum susu hangatnya.

"Emm.. kalo gitu gua balik ya"

"Kak!" Belum genap sepuluh langkah, Anin memanggil Jeffri lagi.

"Kenapa?" Jeffri yang peka akan ekspresi Anin langsung berbalik dan kembali duduk di tempat semula.

"Lo ngga papa?"

"Nggak tau. Gua nggak tau perasaan gua. Gua nggak ngerti mau gua gimana. Gua terlalu sering terluka. Setiap kali gua terluka gua berusaha untuk tetap berusaha buat baik-baik aja dan memperbaikinya lebih keras. Mungkin setiap kali gua terluka karena ekspetasi dan harapan gua sendiri, gua akan nangis sejadi-jadinya dan habis itu gua langsung bangkit lagi dan jadi pribadi yang lebih ceria lagi. Begitu terus sampai gua bingung sama perasaan gua sendiri" Anin, si gadis yang selalu tersenyum. Anin, si gadis penuh semangat, nyatanya ada luka yang coba dia sembuhkan sendiri, tetapi dia selalu gagal menyembuhkannya. Anin, si gadis yang mencoba mengerti keadaan orang di sekitarnya, tetapi dia sendiri tidak bisa mengerti perasaannya sendiri.

"Hidup itu nggak selalu berputar di kita. Di dunia ini nggak semua hal berjalan sesuai sama apa yang kita minta. Tapi, hidup yang nggak sesuai sama keinginan kita bukan berarti hidup yang gagal, bukan? Nin, daripada kita mengejar ekspetasi kita yang jauh lebih menyakitkan, kenapa kita nggak memperbaiki realita yang ada? Bukankah realita sekarang adalah hal yang baik dibandingkan dengan ekspetasi kita? Mencoba berdamai dengan realita jauh lebih membuat kita tenang daripada kita terus mengejar hal yang udah kita tau endingnya" Anin menoleh. Menatap Jeffri dengan berkaca-kaca.

"Terus gua harus gimana? dunia terus menuntut gua untuk terus mengejar hal yang bahkan gua ngga suka? gua udah berusaha sebisa gua. Gua udah melalukan yang terbaik, tapi nyatanya gua selalu gagal. Mereka selalu bilang mungkin lo kurang berusaha, besok lo harus berusaha lebih keras lagi. Cuma kurang satu poin, lo harus lebih keras lagi berusahanya, kata-kata itu terus buat gua gila. Nyatanya dalam dunia, ketika lo gagal, lo cuma dicap sebagai orang yang kurang berusaha" Pertahanan Anin pecah. Diantara suara derasnya hujan, dia menangis. Rasa yang selama ini dia pendam sendiri kini meledak dengan sendirinya.

"Gua tau apa yang lo rasain. Ketika lo mencoba berusaha mati-matian dan mereka hanya mengecap sebagai manusia yang kurang berusaha saat gagal. Tapi, yang pasti cuma lo yang tau seberapa kerasnya lo berusaha. Seberapa lo mencoba melakukan hal terbaik. Alih-alih mendengar komentar orang lain tentang seberapa lo kurang berusaha, lebih baik, lo apresiasi usaha lo. Sekecil apapun tentang usaha lo, lo harus bisa mengapresiasinya. Lo bukan superhero yang harus mewujudkan ekspetasi orang di sekitar lo" Jeffri dia seolah melihat dirinya yang dulu. Yang haus akan ekpetasinya. Yang akan menjadi manusia paling tidak berharga hanya karena ekspetasinya tak bisa menjadi nyata.

"Gua selalu mikir kalau gua mewujudkan segala ekspetasi orang ke gua, mereka akan mewujudkan ekspetasi gua ke mereka. Mereka akan mengapresiasi segala hal yang gua lakukan"

"Nin, jangan pernah mikir kalau lo menuhin ekspetasi orang ke lo, mereka bakalan melakukan hal yang sama. Itu nggak mungkin. Pasti bakalan beda. Lakukan sesuka lo, Nin. Hidup lo milik lo. Lo peran utamanya. Karena cuma lo yang tau apa yang lo mau. Karena cuma lo yang tau lo berusaha untuk apa"

Hallo guys welcome to back
Gimana hari kalian hari ini?
Sudahkah kalian apresiasi kalian di hari ini?
Terima kasih sudah bertahan sampai hari ini
Jangan lupa tetap waras ya hehehe
Owh ya jangan lupa juga vote and komen ya
Kritik dan saran juga, aku butuh masukan hehehe supaya bisa berkembang
selamat siang semuanya!
-salam cinta dari author

Lengkara di Ujung Senja (Segera Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang