Siang ini kota cukup cerah namun tidak panas. Gadis dengan baju khas rumah sakit itu tengah memandangi langit yang penuh dengan burung-burung yang bertebangan. Di tanganya ada segelas air putih dan buah anggur di sebelahnya.
"Anin?" Gadis itu menoleh. Lelaki dengan setelan kemeja putih yang begitu ia kenal ada dihadapannya. Anin menggeser infusnya dan memberi ruang untuk lelaki itu duduk di sampingnya.
"Lo ngga papa?" Nafas Anin terhenti sejenak. Bagaimana bisa lelaki yang tak ada hubungan darah dengannya menanyakan keadaannya.
"Em. gua ngga papa. Iya, gua ngga papa hehehe"
"Hm, padahal kalau udah masuk sini berarti lo ngga baik-baik aja" Lelaki itu memandang lurus ke depan tanpa menoleh ke arah Anin yang sedang menahan air matanya.
"Luka orang lain itu lebih terlihat daripada luka kita sendiri. Jadi kalau dokter bilang lo sakit berarti lo emang sakit cuma mungkin lo nya aja yang ngga sadar. Lo tau nggak perasaan yang menyakitkan? pura-pura bahagia"
"Kak! kenapa lo selalu tanya Anin nggak papa? Lo ngga papa? Lo baik-baik aja? kenapa? kenapa? kenapa lo lakuin itu? kenapa lo bersikap seolah lo Kak Megan? kenapa? kenapa sikap lo kaya Kak Megan? kenapa? Gimana kalau gua nganggep lo sebagai Kak Megan bukan Kak Jeffri? Gimana kalau bergantung sama lo?" Air mata Anin turun begitu saja melewati pipinya. Anin kali ini tak meraung hanya sekedar terisak sedikit.
"Ngga papa. Terserah lo mau anggap gua sebagai apa. Kakak lo kek, orang tua lo kek atau pacar lo kek. Terserah. Up to you. Selagi lo nyaman karena sejujurnya gua udah gua anggep sebagai adik gua sendiri"
"Oke, lo kakak gua. Iya, gua nggak baik-baik aja. Gua capek. Gua muak. Tapi gua nggak gila. Gua mau pulang. Kak, bawa gua pulang ya?" Anin meregek bak anak kecil yang meminta mainan pada kakaknya.
"Lo mau apa?"
"Pulang"
"Lo mau apa?"
"Pulang"
"Anin, lo maunya gimana, hm?" Kali ini nada Jeffri begitu lembut. Tatapan matanya begitu lembut bagai sihir bagi Anin
"Bahagia. Gua mau semua orang di sekitar gua bahagia. Gua mau pulang dan kembali membahagiakan orang tua gua walaupun gua muak. Gu-a, gu-gua ngga bisa liat bunda nangis kaya semalem" Anin tetap Anin. Yang akan selalu mengutamakan orang lain daripada dirinya sendiri. Anin ingin dirinya dia bahagia dengan bebas tetapi melihat bundanya menangis semalaman hatinya begitu sakit.
"Terus lo gimana? lo pernah membahagikan diri lo sendiri?" Anin kembali terdiam. Anin tak mampu menjawabnya. Anin telah lama lalai dengan dirinya sendiri. Anin lalai menyanyangi dirinya dia sendiri. Anin lupa untuk membahagiakan dirinya sendiri.
"G-gua mau bahagia juga, kak. Gimana caranya?"
"Sebelum lo membahagikan orang lain, lo harus membahagiakan diri lo sendiri. Cukup jadi egois saja. Jangan memikirkan perasaan orang lain ataupun reaksi orang lain ke lo. Coba hidup sesuai sama keinginan lo. Egois ngga seburuk itu. Setiap lo merasa kesulitan, cukup pikirkan aja kebahagiaan lo. Lo boleh lakuin itu," Jeffri tersenyum manis pada Anin. Mengelus pucuk kepala gadis itu.
"Lo ngelakuin hal itu?"
"Iya, gua lagi coba buat hidup sesuai keinginan gua. Gua ngga akan memaksa atau dipaksa oleh segala hal. Jalani aja hal yang ada sekarang tanpa menuntut apapun. Itu jauh lebih menyenangkan. Dokter gua meminta gua untuk hidup sebebas apapun yang gua mau."
"Lo udah berdamai dengan keadaan, ya?"
"Iya, gua mencoba buat berdamai dengan keadaan, bahkan dengan diri gua sendiri karena gua ingin sembuh dari sakit gua. Ah, bukan sembuh tapi ingin bisa berdamai dengan anxiaty disorder. Gua cukup menjalani hidup sebagai gua tanpa takut gagal dan selalu minum obat jika perlu"
Anin melihat bagaimana ketidakmungkinan berubah menjadi mungkin ketika kita mau berusaha. Anin yang selalu berfikir bahwa dia tidak mungkin bisa keluar dari sangkar emas orang tuanya, kini ia bisa melakukannya. Harapan-harapan yang ia curahkan saat di ujung Senja kini memiliki jalannya. Iya, cukup menjadi diri Anin sendiri dan berhenti membohongi diri sendiri dengan mengatakan baik-baik saja.
"Gua pernah ada di posisi lo, Nin. Gua denial mengakui kalau gua ngga mampu. Gua anak sulung, Nin. Gua harus bisa menghidupi Anugrah dan menjamin kehidupan Anugrah dengan baik. Ketika gua gagal UTBK gua juga merasa gagal menjadi kakak yang menjadi contoh adiknya. Dalam pikiran gua, gua harus sempurna. Gua nggak boleh gagal UTBK. Tapi ternyata gua gagal lagi. Gua terus menuntut diri gua sendiri untuk menjadi yang terbaik tetapi selalu gagal. Lama-kelamaan gua semakin pesimis sama diri sendiri. Gua merasa ngga bisa membahagiakan Anugrah. Gua selalu gugup, takut gagal. Rasanya seperti gua tenggelam di lautan, sesak dan nggak bisa napas. Tangan gua bergetar hebat, keringat gua terus keluar setiap kali gua masuk ruang UTBK, dan yah, gua makin gagal"
"Awalnya gua malu ngakuin kalau gua sakit. Soalnya gua bukan sakit fisik tapi sakit mental, gua selalu denial dan selalu ngerasa kalau gua baik-baik aja. Gua ngerasa gua lemah karena ngga bisa jaga mental gua. Sampai akhirnya gua sadar kalo semakin gua denial gua akan makin parah. Gua ngga bakalan bisa ngurusin Anugrah lagi. Gimana dia jika kakaknya gila? dengan itu gua berusaha buat sembuh. Gua rutin cek up dan minum obat dengan teratur dan mencoba hidup dengan keinginan gua sendiri. Nin, tolong sembuh ya" Anin menengguk ludahnya kasar. Menahan emosi yang bergejolak dalam batinnya.
"Nggak papa mengakui kalau lo sakit, lo ngga baik-baik aja. Itu bukan tindak kriminal. Sekarang bukan orang lain lagi yang lo tolong, kaya waktu lo nolong Anugrah. Tapi, sekarang lo harus nolong diri lo sendiri." Benar, Jeffri benar. Anin harus menolong dirinya sendiri. Anin sudah melangkah begitu jauh dari jati dirinya.
Gadis itu berjalan sambil mengerek infusnya. Anin berhenti sejenak memperhatikan sekitarnya. Dia berfikir bahwa dirinya adalah orang paling waras di sini. Tetapi nyatanya dia sama seperti mereka. Dirinya juga sakit. Dirinya juga butuh diobati. Yah, dia sadar bahwa semua orang bisa sakit dan semua orang berhak mendapatkan pengobatan. Malam tidak selamanya malam. Dia akan berganti fajar saat waktunya tiba. Anin hanya cukup berdamai dengan dirinya sendiri bukan?
"Kenapa gua harus melaksakan diri menjadi orang lain?" Tanya Anin pada sembarang objek. Dia tengah menertawakan hidupnya yang berada di puncak komedi.
"Yah, gua tau jawaban sekarang. Karena gua selalu takut pendapat orang lain tentang gua. Benar, itu alasannya. Dan sekarang lo harus bertekad buat mengubah hidup lo sesuai keinginan lo. Ayo, Anin pasti bisa! fighting!" Anin menghidup oksigen dalam-dalam dan ia hembuskan pelan-pelan. Gadis itu lantas tersenyum manis dan mulai hari ini ia akan mencoba menjadi dirinya sendiri.
"Dulu gua selalu bilang katanya kita harus belajar buat menghargai diri sendiri agar orang lain bisa memperlakukan kita dengan layak. Apa yang harus gua lakukan agar gua merasa dihargai? gua ngga tau. Tapi sekarang gua tau caranya."
Hallo guys! welcome to back gimana kabar kalian? baik baik aja?
owh yaa gimana nih part ini huehue menuju ending guys!
bakalan ada plot twits si ehehe
btw jangan lupa vote and komen ya
kritik saran juseyooo
-salam cinta dari author
KAMU SEDANG MEMBACA
Lengkara di Ujung Senja (Segera Terbit)
Teen FictionBagi Anindita, asumsi orang di sekitarnya adalah segalanya. Hidupnya bergelimpangan dengan komentar baik membuatnya merasa sempurna, seperti namanya. Sebelum akhirnya dia bertemu dengan Januari, lelaki dengan segala problematika kehidupan yang jauh...