Tiga Belas : Rumor

64 39 15
                                    

Waktu sudah menunjukkan tengah malam. Anin baru saja sampai di rumahnya. Ternyata orang tuanya sudah menunggunya. Tatapan tajam kembali ia dapatkan.

"Anin, astaga. Kamu dari mana aja" Dinda langsung memeluk anaknya, khawatir akan terjadi apa-apa.

"Engga, bun. Ak-"

"Ayah bilang bimbel kan? kenapa malah keluyuran" Anin menatap Rama. Sorot mata pria setengah abad itu begitu tajam, menusuk dalam hatinya.

"Maaf, yah. Tadi aku habis ngerjain revisi laprak jadi ngga sempet bimbel"

"Udah, yah. Anaknya lagi cape, jangan marah-marah" Rama hanya menghembuskan nafasnya pasrah. Dia memilih untuk pergi dari ruang keluarga.

"Udah, ngga papa ya. Ayahmu emang lagi cape jadi marah-marah mulu. Masuk kamar gih, bunda udah siapin sup tomat sama jus mangga. Di makan ya, bunda udah siapin vitamin juga. Abis itu istirahat, tidur" Anin hanya mengangguk. Dinda meninggalkan Anin sendiri di ruang keluarga dalam galap.

"Ini yang bikin aku ngga nyaman di rumah"

Anin menaiki tangga menuju kamarnya, menutup rapat-rapat. Tidak, dia sudah tak bisa menangis. Gadis itu lebih memilih untuk membersihkan diri dan memulai mengerjakan lapraknya.

Kepalanya akhir-akhir ini menang sering pening. Dia selalu mengabaikan hal itu. Dan dia akan selalu baik-baik saja. Dia akhirnya menyelesaikan lapraknya pukul tiga dini hari. Rasanya lega ketika lapraknya selesai.

Belum sempat ia membuka ponselnya, setetes darah mengalir dari lubang hidupnya. Gadis itu buru-buru membersihkannya di kamar mandi. Anin menatap pantulan wajahnya di cermin. Wajahnya yang begitu lesu, kantong mata yang terlihat begitu jelas, bibirnya yang kian memucat.

"Anin, jangan terlalu keras sama diri lo. Bukan orang lain, tapi pastikan diri lo sendiri udah menyukai diri lo sendiri. Sayangi diri lo sendiri. Jangan berlebihan ya bekerja kerasnya"

"Kak, bukan gua yang menyakiti diri gua sendiri, tapi keadaan yang bikin gua menyakiti diri gua sendiri" Anin memilih untuk meminum pil itu kembali. Hari ini begitu berat untuknya. Begitu banyak kejadian yang membuat dirinya lelah.

"Selamat malam, Anindita. Selamat beristirahat, semoga dunia mimpi lo jauh lebih menangkan"

-Lengkara di Ujung Senja-

Matahari kini sudah naik ke permukaan. Menyapa insan di bumi. Tak seperti kemarin, kali ini cuaca begitu cerah. Gadis dengan blouse biru pastel itu sudah bersiap-siap untuk kuliah. Dia sedang berkutat di dapur, menyiapkan sandwich kesukaannya.

Dia membawa 2 potong sandwich dan ia masukkan ke dalam kotak makan biru. Dari tangga, tampak Dinda telah siap dengan setelan kemeja panjang dan jas putih yang ia tenteng.

"Nin, bunda berangkat dulu. Kamj jangan lupa sarapan" Anin hanya mengiyakan ucapan bundanya. Gadis itu buru-buru keluar rumah dan berlari menuju halte terdekat, takut tertinggal bus.

20 menit telah ia lalui, Anin berjalan menuju kelasnya dengan senyuman yang bertengger di wajahnya. Begitu manis. Gadis itu cukup heran dengan suasana kelas yang begitu gaduh.

"Nin, lo udah tau beritanya?" Anin hanya menggeleng kala Mala bertanya. Anin buru-buru membuka menfess kampusnya.

 Anin buru-buru membuka menfess kampusnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Siapa yang nyebarin menfess sampah gini?!" Semua hanya diam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Siapa yang nyebarin menfess sampah gini?!" Semua hanya diam. Anin menatap satu per satu manik mata temannya, sayangnya mereka memilih untuk memalingkan wajahnya, menghindari kontak mata dengan Anin.

"Nin, sabar" Mala ngeri melihat Anin yang begitu marah.

"Mal, sekarang An kemana?" Mala hanya menggeleng. Anin langsung berlari mencari lelaki itu. Dia buru-buru menuju rooftop fakultasnya. Sayangnya lelaki itu tak ada di sana. Dia terus berfikir di mana lelaki itu berada. Hatinya berkata bahwa Anugrah ada di Embung. Dengan sisa kekuatannya yang ada, dia berlari ke tempat itu. Dan benar saja di sana lelaki yang tengah berdiam diri di Embung sendirian.

"An?" Lelaki itu menoleh kala tangan halus Anin menyentuh pundaknya.

"Anin? kamu ngapain ke sini?" Anugrah reflek menggeser tubuhnya memberikan tempat duduk di sampingnya.

"Ngga ngapa-ngapain, kamu sendiri?"

"Menghindari wajah-wajah mengerikan mereka. Aku takut sama tatapan mereka," Ucap Anugrah. Anin menatap sendu pria dengan kemeja biru itu.

"Nin, aku cape. Aku muak. Ngga tau apa yang salah dari semua ini. Aku cuma muak aja. Berhubungan dengan orang lain udah kaya kewajiban. Aku menjalani hari-hari yang begitu berat. Aku udah berusaha keraa buat diterima menjadi bagian mereka tapi mereka menganggap aku gila. Aku emang terlihat gila ya, Nin?"

"Memang salah ya orang gila? mereka ngga tau seberapa berat hidup kita. Jika kita jadi gila memang buat dunia mereka hancur? enggak kan? kamu cuma sakit aja. Kamu cuma butuh berobat dan pasti bakalan sembuh. Gila bukan kesalahan" Anugrah menoleh ke arah Anin. Memastikan pendengarannya.

"Maksudnya?"

"Kamu ngga salah kalo kamu gila. Ngga papa kalau kamu sakit gila. Ada orang yang bisa menyembuhkan kamu. An, kamu bisa berobat untuk sembuh"

"Kamu nganggep aku gila?" Anin sedikit terkejut ketika Anugrah menaikan beberapa oktaf nadanya.

"Bukan gitu. Aku bukan psikolog yang bisa mengeklaim kamu gila atau engga. Kalau misal kamu gila itu bukan apa-apa bagi aku. Kalaupun engga, jangan sampai gila. Kamu harus menjaga kewarasan dengan membagi beban kamu dengan aku atau Kak Jeff"

"An, luka fisik bisa diobati dengan gampang, tapi engga dengan penyakit mental. Itu yang buat penyakit mental begitu menakutkan. Sampai kamu merasa tertekan dan sesak sampai kamu kehilangan kesadaran atas diri kamu. Kamu pasti merahasikannya dari orang di sekitar kamu. Tapi, jangan lakuin hal itu. Setidaknya ketika kepalamu bising bagi kebisingan kamu. Jangan sampai kebisingan itu mengusai diri kamu seutuhnya" Anin menepuk pundak Anugrah dengan tulus. Lelaki dihadapannya begitu banyak luka. Begitu banyak hal yang menyakitkan dalam hidupnya. Bagaimana bisa ia sekuat itu.

"Nin, makasih ya. Entah kenapa aku sekarang tahu apa yang aku inginkan"

"Memang apa?"

"Bagiku, aku hanya perlu orang yang memahami aku. Aku akan berkata aku kesepian, tolong aku. Dan orang itu akan mendengarkanku tanpa berniat menjudge atau saling beradu siapa yang begitu menderita antara kita"

Hallo guys welcome to back
maaf baru update aku ketiduran heheh
gimana kabar kalian?
semoga baik baik aja
btw jangan lupa vote komen
dan kritik saran juseyooo
-salam cinta dari author

Lengkara di Ujung Senja (Segera Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang