Hujan saat ini telah reda, menyisakan genangan air di jalanan yang berlubang. Anin memilih untuk pulang jalan kaki sambil merenungi segala yang terjadi hari ini. Rasanya dia siap pulang ke rumah. Dia tak siap diserbu harapan-harapan dari orang tuanya.
"Nin, udah sampai mana belajarnya?"
"Nin, udah siap kan buat ikut ujian tahun depan?"
"Nin, tahun kemarin kamu kurang berusaha, sekarang harus lebih berusaha, ya"
"Nin, jangan lupa bimbel"
"Nin, bunda sama ayah kan dokter nih. Kalau bisa kamu juga dokter, ya"
Brukkkkk
Anin terjatuh ketika seseorang tak sengaja menabraknya.
"Maaf, maaf kak. Saya nggak sengaja," Ucap lelaki berbalut baju SMA.
"Iya, nggak papa" Anin menolak bantuan dari lelaki muda itu. Melihat penolakan dari Anin lelaki itu memilih untuk meninggalkan Anin yang masih tergeletak di trotoar.
"Rupanya sakit"
"Aku kira ngga akan sesakit ini, hahaha"
"Ternyata sesakit ini"
"Gua takut kak. Gua takut sama diri gua sendiri. Gua serasa ngga kenal sama diri gua sendiri. Gua ngga tau mau gimana? gua ngga tau gimana cara menghadapi segala harapan yang mereka berikan ke gua. Gua ngga bisa menerima harapan itu, tapi gua juga ngga bisa menolak. Kak, gua kehilangan jati diri gua" Anin ibarat dandelions yang terbang terbawa angin yang tak tahu akan terbang ke mana.
"Coba tanya hatimu. Coba tanya lo mau apa. Hidup lo didedikasikan untuk apa. Apa yang buat lo senang sebenarnya, Nin? coba tanya hatimu karena cuma lo yang tau jawabannya. Apa yang buat lo terbebani sebenernya juga cuma lo yang tau. Melepaskan payung yang nggak bisa melindungi dari hujan justru buat lo jauh lebih lega" Anin hanya terisak, tak mampu menjawab. Dia hanya butuh pelukan sama seperti ini. Megan selalu memeluknya ketika dirinya menangis. Megan selalu menenangkannya ketika ia gudah. Nyatanya Megan memilih untuk menyerah pada semesta, apakah dia juga harus menyerah pada semesta?
"Nin, lo suatu saat bakalan bahagia karena lo udah berusaha keras untuk melakukan yang terbaik. Terima kasih, Anin. Sudah melakukan yang terbaik"
"Oke, nggak papa. Ayo hidup. Entah gimanapun caranya, harus tetap hidup. Nggak papa. Everything will be okay" Anin mencoba bangun dari jatuhnya. Dia menatap langit yang masih terlihat mendung. Ia bisa lihat karena bulan dan bintang tak terlihat, jadi dia menyimpulkan bahwa malam ini pasti mendung.
Anin membuka ponselnya karena merasa ada pesan yang masuk. Ternyata itu pesan dari Jeffri. Mereka sempat bertukar nomor telepon tadi saat Anin menumpang untuk mengcharger ponselnya. Anin tersenyum tipis ketika mendapat pesan itu. Hatinya menghangat. Nyatanya di dunia yang seolah menuntut Anin untuk sempurna, ternyata masih ada manusia yang mengapresiasi segala hal yang dia lakukan hari ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lengkara di Ujung Senja (Segera Terbit)
Teen FictionBagi Anindita, asumsi orang di sekitarnya adalah segalanya. Hidupnya bergelimpangan dengan komentar baik membuatnya merasa sempurna, seperti namanya. Sebelum akhirnya dia bertemu dengan Januari, lelaki dengan segala problematika kehidupan yang jauh...