Hari ini adalah tahun baru 2024. Lelaki itu hanya berdiam diri di Alun-alun kota yang ramai tapi ia sendiri. Dia hanya ditemani rokok yang kian mengikis terkena hisapan dia. Saat ini sudah dua minggu semenjak dirinya dipecat dari part time. Sudah dua minggu juga sejak dirinya mengenal gadis yang begitu naif tapi menarik. Sayangnya gadis itu tak bisa lagi menemaninya menikmati malam-malam seperti biasanya karena gadis itu sibuk dengan bimbel-bimbelnya.
Anin, gadis itu memilih untuk fokus mengejar kedokteran lagi, meskipun dia tidak yakin kali ini dia akan berhasil. Dia kembali mengesampingkan logikanya daripada perasaannya. Dia tak bisa menolak keinginan orang tuanya. Hari-harinya dipenuhi dengan buku-buku berisi soal snbt tahun lalu yang harus ia pelajari. Membayangkan saja, lelaki itu begitu muak.
Janu, dia tak begitu suka belajar. Dia menyukai hal-hal yang bersifat otodidak. Janu menyukai kimia tetapi anehnya dia tidak suka belajar. Entah lah. Lagi-lagi Janu merasa bosan akhir-akhir ini.
Janu langsung meluncur menggunakan motor maticnya menuju rumah Harsa. Rumah Harsa lumayan jauh dari Alun-alun kota. Sekitar 10 menit jika naik sepeda motor. Selama di perjalanan lelaki itu banyak berucap syukur karena dengan ia part time ia bisa melunasi hutang mamanya dan setelah semester ini selesai ia akan berhenti kuliah.
Janu memakirkan motornya di halaman rumah Harsa. Rumah yang paling mewah di antara rumah yang lainnya. Harsa memang terlahir dari keluarga yang berkecukupan. Tetapi sahabatnya itu tak pernah menyombongkan kekayaannya itu. Harsa memang sebaik itu.
"Tante Sandra? mamahnya Janu?" Mendengar namanya disebut Janu menghentikan langkahnya.
"Jadi, selama ini papah ada hubungan sama Tante Sandra?" Bagai petir di malam hari, Janu terdiam seketika. Otaknya butuh waktu untuk memproses kalimat yang baru saja ia dengar.
"Pah, Janu itu sahabat Harsa. Kok papah tega buat persahabatan anaknya hancur?"
"Harsa! jangan ikut campur sama urusan papah, ya"
"Gimana aku ngga ikut campur, pah. Ini menyang-"
"Harsa, inget. Kamu bukan anak kandung saya" Ada begitu banyak fakta yang tak bisa ia terima. Begitu banyak elektron yang memenuhi kepalanya hingga membuat bising yang Janu benci.
"Mama cuma cinta Mas Dean"
"Kenalin ini papah aku, Jan"
"Panggil Om Dean, saja"
Janu kira hanya kebetulan saja nama Papa Harsa sama dengan nama selingkuhan mama dulu. Tapi ternyata ia terlalu polos mempercayai kebetulan di bumi ini.
"Jadi itu alasan kenapa mama memilih bunuh diri? karena papa selingkuh. Ternyata papa segila itu, ya?"
"Harsa asal kamu tau. Papa ngga pernah cinta sama mama kamu. Papa sama mama dijodohkan nenek kamu! dan asal kamu tau juga. Mama kamu mandul itu yang buat mama kamu bunuh diri. Papa cuma cinta sama Sandra"
"Kenapa harus Tante Sandra, pah?!"
Tangan Janu terkepal kuat. Matanya mulai berkunang-kunang. Kepalanya begitu berisik. Mendadak nafasnya sesak. Rasanya jiwanya ingin keluar dari raganya. Tidak, ia harus menahan sebelum Rajan mulai menguasai dirinya lagi. Janu berlari menjauh dari rumah itu.
Prak
Pot tanaman tertendang olehnya membuat perdebatan Harsa dan Dean berhenti. Harsa berlari takut jika itu adalah Janu. Siluet Janu ternyata tertangkap oleh netra Harsa. Lelaki itu berlari menyusul sahabatnya.
Janu sudah tergeletak di pinggir jalan. Harsa tau bahwa setelah ini pasti Rajan muncul dihadapannya. Benar saja, sahabatnya itu terbangun dengan tatapan yang berbeda. Lelaki itu menatap tajam Harsa dan mulai mendekatinya.
"Brengsek Harsa!" Lagi-lagi tangan Janu mencekik Harsa kuat-kuat. Harsa terus mencoba melepaskan cekikannya.
"Ra-jan! tol-ong le-pasin gu-a du-lu. Gu-gua bakalan je-las-in semua"
"Gua ngga perlu penjelasan dari lo!"
"Lo harus mati Harsa!" Janu makin mencekik Harsa. Harsa mulai kehabisan oksigen.
"Gua Harsa lo siapa? kenapa nangis?"
"Siapapun yang nyakitin Janu kalian berurusan sama gua"
"Janu lo ngga papa?"
"Jan jangan nangis sendirian lagi"
"Agghhhhh, brengsek!" Janu melepas cecikannya pada Harsa. Memori-memori tentang Harsa tiba-tiba memenuhi otaknya. Bising di kepalanya semakin membuat Janu tersiksa. Janu menangis meraung-raung entah mengapa rasanya dia tengah berperang dengan dirinya sendiri. Memori-memori di masa lalu membuatnya gila. Benar-benar gila.
Dekapan hangat seseorang membuat Janu sedikit tersadar. Matanya bersitatap dengan mata cantik milik gadis berponi dihadapannya.
"Lo siapa?"
"Kalau suatu saat dia datang saat gua sama lo, coba bantu dia untuk berkawan dengan keadaan, ya?"
"Anin" Janu mengejab-ngejab matanya.
"Laluna Anindita"
"Anin laut indah ya?"
"Anin besok free?"
"Anin"
"Nin"
"Aghhh, siapa lo. Kenapa nama lo ada di otak gua!"
"Nin, kalau lo ketemu Rajan buat dia tenang ya? jangan buat dia marah. Dia bisa nyakitin siapapun bahkan dirinya sendiri"
"Gua penolongmu"
"Hm?"
"Iya, nama gua Laluna Anindita, salam kenal, Rajan" Anin tersenyum manis meskipun hatinya begitu sakit melihat lelaki yang selama ini terlihat tegar ternyata mengidap penyakit yang begitu menyakitkan. Sebenarnya sekelam apa masa lalu Janu?
Anin memeluk hangat Janu. Menepuk-nepuk punggungnya pelan, berharap lelaki itu segera sadar.
"Rajan. Seburuk apapun kehidupan lo, jangan menyakiti siapapun, ya. Biarkan orang jahat menyakiti lo, tapi lo jangan menyakiti mereka. Rajan, gua tau mungkin dalam benak lo terbesit buat membunuh orang-orang yang begitu kejam sama lo. Tapi, jangan lakuin itu ya. Kalo lo merasa terbebani panggil gua. Anin, penolongmu" Perlahan mata Janu tertutup, nafasnya sedikit teratur. Anin bernafas lega.
Perlahan kelopak mata Janu terbuka. Hal yang pertama kali ia sadari adalah aroma parfum yang begitu ia kenal. Janu melepas pelukan itu. Tatapannya jatuh pada mata Anin yang sedikit basah.
"Anin?" Lelaki itu kembali memeluk gadis itu. Ada begitu banyak emosi yang ingin ia ceritakan kepada Anin.
"Jan" Suara yang begitu ia kenal memasuki telinganya membuat pelukannya ia lepas.
"Maafin papa gua. Gua ngga tau kalau papa selingkuh sama ma-"
"Har, cukup. Beri gua waktu itu menenangkan diri. Ini terlalu tiba-tiba untuk gua. Gua ngga akan mutus hubungan dengan lo apapun yang terjadi. Tapi gua butuh waktu buat bisa menerima fakta yang ada, Har. Gua butuh waktu untuk memaklumi kalau orang yang selama ini gua cari itu ada di sekitar gua" Harsa mengerti. Janu butuh waktu untuk mencoba menerima fakta yang ada. Harsa juga butuh waktu untuk berdamai dengan keadaan.
"Oke, Jan. Gua tau dan gua ngerti. Gua kasih lo waktu sepuas lo sampai lo bisa berdamai dengan gua dan gua juga bisa berdamai dengan diri gua sendiri. Sama kaya yang pernah gua omongin waktu lalu. Kalau waktu yang bakalan sembuhin luka. Gua bakal nunggu lo di sini sampai kapanpun. Jan, jangan lupa balik ke gua, ya"
Hallo guys welcome to back!
aku baru sempet nulis lagi hshsh
maaf kalo ngga ngefeel lagi kehilangan semangat menulis wkkw
yaudah jangan lupa vote and komen ya
kritik saran juseyo
-salam cinta author
KAMU SEDANG MEMBACA
Lengkara di Ujung Senja (Segera Terbit)
Teen FictionBagi Anindita, asumsi orang di sekitarnya adalah segalanya. Hidupnya bergelimpangan dengan komentar baik membuatnya merasa sempurna, seperti namanya. Sebelum akhirnya dia bertemu dengan Januari, lelaki dengan segala problematika kehidupan yang jauh...