Empat : Pilihan

130 75 19
                                    

"Januari" Suara yang begitu berat memanggil namanya sendiri. Gadis dengan mata yang masih sembab itu hanya mengangguk.

"Lo sering ke sini?"

"Nggak, kadang-kadang aja kalo lagi pengin sendiri" Lagi-lagi Anin mengangguk mengerti. Keheningan tercipta di antara mereka. Mereka sama-sama menikmati semilir angin siang ini. Cukup cerah tetapi tak begitu panas.

"Jan? menurut lo gua alay ngga sih, gitu doang nangis hehehe"

"Enggak lah. Manusia punya batas atas dirinya sendiri. Mungkin, kata-kata mereka udah melewati batas dalam diri lo kan? lagian Tuhan aja ngga melarang hambanya buat nangis? daripada ngga nangis, psikopat lo?" Anin tersenyum lebar. Perasaan dirinya sedikit membaik. Ternyata bertemu dengan orang yang mengerti dirinya semenyenangkan itu.

"Hidup itu pilihan, Nin. Sama kaya lo yang lebih memilih buat nangis, mengekspresikan perasaan lo. Bukan milih buat bersikap biasa meskipun hati lo ngga baik-baik aja."

"Kalo lo jadi gua, lo milih yang mana?" Anin memiringkan tubuhnya. Lelaki dihadapannya ini sungguh menarik.

"Mungkin gua milih opsi kedua"

"Hm? kenapa?"

"Karena gua cowok. Cowok itu susah buat mengekspresikan apa yang dia rasakan. Dan yang pasti cowok itu, selalu menyembunyikan masalahnya. Bagi mereka, mereka harus bisa menyelesaikan sendiri, kan mereka cowok"

"Cowok juga manusia kan?" Anin langsung memotong argumen Janu. Menurutnya, cowok dan cewek sama saja. Dua-dua berhak buat mengekspresikan diri.

"Tau, tapi kalo lo ngga kuat, gimana lo nanti bakal nguatin pasangan lo? lagian juga gua udah terbiasa sendiri"

"Maksudnya?"

"Gua hidup sendiri. Tanpa orang tua. Gua juga anak tunggal" pernyataan itu begitu lugas keluar dari mulut Janu. Wajahnya begitu datar kala mengatakan hal itu.

"Gua kayanya bisa mati deh kalo gitu"

"Hm? kenapa harus mati?"

"Karena gua ngga bisa sendiri, Jan. Hidup gua selalu dikelilingi orang yang siap membantu gua. Gua lebih suka berinteraksi daripada harus berdiam diri sendirian. Btw pasti lo kesepian ya?" Anin, gadis itu memang terbiasa melakukan apapun bersama kakaknya. Kakaknya, sosok yang menjadi panutannya, tempat dia mencurahkan segalanya.

"Gua udah berkawan sama kesepian. Lagian juga mau seramai apapun percuma kalo ngga ada yang bisa ngertiin lo. Bagi gua, lo cuma punya diri lo sendiri. Ngga semua orang bisa selalu ada buat lo kaya lo yang selalu ada buat mereka. People come and go kan? dan ujung-ujungnya juga lo bakalan sendiri."

"Tapi lo ngga bakalan bisa tanpa interksi sama orang lain kan?"

"Gua ngga seintrovert itu, ya! gua interaksi kalo ada yang penting. Kalo ngga, yaudah mending diem aja. Ribet takut mal-"

"Takut kalo dia bakalan muncul dihadapan mereka"

"Takut apa?"

"Ngga papa. Btw gua balik dulu. Abis ini ada kelas" Janu memilih untuk pergi. Dia takut gadis yang baru ia kenal itu tau lebih jauh tentang dirinya. Dirinya yang tak sekuat itu. Dirinya yang tak bisa mengontrol dirinya sendiri. Cukup Harsa yang tau jauh tentangnya.

Anin hanya diam. Anin begitu tertarik dengan lelaki yang baru ia kenalnya tadi. Januari dengan segala argumennya yang bertolak belakang dengannya. Yang selalu punya hal untuk mematahkan prinsipnya.

Anin memilih untuk turun dan kembali ke kantin. Nyatanya rasa laparnya kembali lagi. Dirinya mencoba untuk melupakan perkataan teman satu sekolahnya dulu itu. Baru saja dirinya sampai di lantai dasar, dia melihat sosok yang tengah berdiri di pinggir rooftop. Matanya melotot kala menyadari itu orang yang ia kenal. Anugrah. Itu Anugrah. Buru-buru dia berbalik menaiki tanggal lagi. Otaknya terus memutar perkataan Janu tadi. Tentang perasaan seorang lelaki. Tentang pilihan. Dan tentang hal paling buruk yang akan terjadi jika dia telat menyelamatkan.

"Cowok itu susah buat mengekspresikan apa yang dia rasakan."

"Please, An. Bertahan sebentar. Gua bakalan jadi tempat lo pulang"

"Cowok itu, selalu menyembunyikan masalahnya."

"Hidup itu pilihan"

"Please, An. Jangan memilih untuk menyerah"

Nafasnya memburu. Pikirannya kacau. Dia sedang berpacu dengan waktu. Berpacu dengan perasaan Anugrah sendiri. Tidak, dia tidak ingin mengulangi hal yang sama seperti dulu. Kali ini dia harus bisa menyelamatkannya.

"An!"

Hallo hallo
welcome to back hehehe
gimana hari ini? baik baik aja kan?
btw jangan lupa vote and komen ya
kritik saran juga ya hehehe
salam cinta dari author

Lengkara di Ujung Senja (Segera Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang