Embusan angin malam masih menjadi teman setia mereka berdua. Mereka masih setia duduk sambil melihat lalu lalang manusia yang tertawa lepas. Mereka sama-sama menginginkan hal itu. Rasanya mereka lupa bagaimana cara bahagia. Anin dan Jeffri, dua manusia yang dipaksa dewasa oleh keadaan. Si bungsu Anin yang harus kehilangan pegangannya saat Megan pergi dan si sulung Jeffri yang harus menjadi kakak sekaligus orang tua untuk Anugrah, adiknya.
Si sulung yang tak punya tempat cerita. Si sulung yang takut gagal menjadi kakak yang baik untuk adiknya. Si sulung yang begitu banyak luka yang ia pendam. Tentang harapan orang tuanya dulu, tentang bagaimana cara agar adiknya bahagia dan yang terakhir tentang bagaimana cara agar dia bisa menjadi contoh bagi adiknya.
Begitupun dengan si bungsu yang merindukan omelan kakaknya. Si bungsu yang kini kehilangan arah. Si bungsu yang kini dituntut menjadi seperti kakaknya. Si bungsu yang lupa cara berjalan sebagai diri dia sendiri. Si bungsu yang kehilangan support sistemnya. Yang mana sejatinya dia butuh dibimbing. Si bungsu yang selalu manja kini harus berkawan dengan lukanya sendirian. Menahan begitu banyak lukanya sendiri yang biasanya ia bagi dengan sang kakak. Si bungsu selalu merindukan kakaknya, tentang apapun.
"Lo nggak pulang?" Anin hanya menggeleng, nyatanya di luar rumah lebih terasa damai.
"Lo sendiri, bukannya lo abis minum obat tadi?"
"Gua mau pulang sih. Lo mau gua anter?" Lagi-lagi Anin menggeleng. Seharusnya dia yang mengantarkan Jeffri pulang bukan?
"Lo udah makan, Nin?" Ucap Jeffri kala dirinya sadar bibir gadis seusia adiknya itu pucat.
"Belum, kenapa? abis ini mau beli makan hehehe"
"Lo ma-" Belum sempat Jeffri menyelesaikan ucapannya ponsel Anin lebih dulu berbunyi.
"Gua mau makan di rumah, orang tua gua pulang" Jeffri hanya mengangguk kemudian memilih untuk pergi dari tempat itu lebih dulu. Anin menghembuskan nafas berat. Rasanya ia saat ini tak siap bertemu dengan orang tuanya. Moodnya sedang tidak baik-baik saja. Banyak hal yang terjadi hari ini. Sungguh hari yang berat.
Anin melangkah gontai meninggalkan alun-alun kota. Sepanjang jalan ia hanya melamun sesekali berhenti sejenak untuk menarik nafas berat. Desir angin seolah tengah menenangkan pikiran Anin yang berkecambuk memikirkan apa yang akan terjadi ke depannya. Tak lama kemudian dirinya sampai di rumah mewah berpagar tinggi. Dia melangkah yakin kemudian menyunggingkan bibirnya. Membuang jauh-jauh bising di kepalanya. Saat ini dia harus menjadi manusia yang bahagia.
"Bundaa!!" Wanita dengan penampilan modis itu berbalik. Bibirnya melengkungkan senyuman ketika melihat putrinya datang.
"Habis dari mana anak bunda?"
"Tadi abis ngerjain laprak hehehe" Tak lama kemudian pria dengan jas setelan kemeja coksu datang.
"Itu ayahmu udah dateng, tadi habis ambil dompet yang ketinggalan di rumah sakit" Dinda dan Rama adalah pasangan suami istri yang berprofesi sebagai dokter. Rama adalah dokter spesialis jantung dan Dinda adalah dokter gigi.
Mereka bertiga berkumpul di meja makan. Ini pertama kalinya mereka berkumpul setelah berbulan-bulan mereka tugas di luar kota. Ada rasa canggung ketika mereka tiba-tiba makan bersama setelah sekian lama.
"Ini, Nin. Rendang. Makanan kesukaan kamu kan" Dinda memberikan potongan daging khas Padang itu piring anaknya yang baru terisi nasi dan sayur. Anin hanya diam dan menerima dengan senyuman.
"Bun, aku ngga suka rendang"
Anin menengguk ludahnya kasar. Melihat potongan rendang itu mengingatkannya pada Megan yang sangat menyukai rendang.
"Bun, yang suka rendang itu Kak Megan bukan aku"
Anin menelan keras makanan itu. Rasanya begitu aneh. Perlahan-lahan rendang itu ia habiskan demi tak ingin mengecewakan orang tuanya.
"Nih bunda beliin kamu coklat juga. Kamu suka kan?"
"Bun, aku sukanya keju bukan coklat"
Lagi-lagi Anin hanya mengangguk membenarkan. Dinda memeluk erat putri bungsunya. Mengelus pelan kepalanya.
"Bunda selalu tau apa yang anak bunda suka, kan?" Anin mengangguk pelan.
"Iya, bunda tau apa yang disukai anak bunda. Kak Megan bukan aku"
"Gimana kuliah kamu?" Kali ini suara tegas milik Rama mengusaikan adegan pelukan ibu dan anak itu.
"Baik kok, yah"
"Kamu ngga mau nyoba kedokteran lagi tahun besok" Anin sudah menduga bahwa pertanyaan itu akan keluar dari mulut ayahnya.
"Iya, yah. Tahun besok Anin bakalan coba lagi kok, yah. Ayah tenang aja" Rama hanya mengangguk kemudian menepuk pelan bahu Anin sambil tersenyum tipis.
"Ayah percaya sama kamu" Rama beranjak dari meja makan itu. Begitupun dengan Dinda, menyisakan Anin yang masih berkutat dengan pikirannya di sana.
"Kamu ngga mau nyoba kedokteran lagi tahun besok?"
Kalimat itu terus berputar dalam otaknya. Bahkan sampai dirinya sudah berpindah di kamarnya. Dia merebahkan dirinya di kasur yang empuk.
"Pengin ngetawain dia waktu dia ngga lolos Kedokteran. Dulu dia ngotot banget pengin Kedokteran nyatanya otaknya ngga mampu kan. Mampus"
"Lo ngga perlu jadi sempurna buat memuaskan orang lain. Lo ngga perlu ngepush diri lo sendiri cuma buat orang lain. Orang yang tepat bakalan mandang lo sempurna"
"Semakin lo ingin menjadi sempurna bagi orang lain, lo semakin gila. Lo berhak egois untuk kebahagiaan lo sendiri"
"Kamu ngga mau nyoba kedokteran lagi tahun besok?"
"Aghh, diam!!" Anin menutup telinganya, berharap suara-suara itu berhenti. Bulir air matanya jatuh seirama dengan isak tangisnya. Lagi-lagi malam dingin seperti ini akan dia habiskan dengan merenungi hidupnya.
"Salah, yah? kalau aku ingin sempurna?"
"Aku ingin semua orang bahagia karena aku"
"Tapi, aku cape ketika orang lain nuntut aku banyak hal"
"Lantas aku harus gimana?" Anin meraung-raung. Suaranya teredam oleh suara riak hujan di luar sana. Anin beranjak dari kasurnya dan membuka balkon kamarnya. Dirinya menatap hujan lamat-lamat. Air matanya masih terus mengalir. Dia ingin sebebas hujan. Apakah kebebasan itu lengkara bagi dirinya.
"Aku ingin seperti hujan. Yang bebas jatuh ke bumi tanpa memikirkan apakah manusia suka padanya atau tidak. Mengapa aku tidak bisa seperti itu?" Logika dan perasaan terus berperang. Logikanya menginginkan dirinya memberontak kan terus sebebas hujan. Sebebas dia mengejar impiannya. Tapi hatinya terus mengikat dia untuk tetap di tempat. Menjalani hidup layaknya putri yang baik hati.
"Jika aku selalu menjadi obat bagi orang lain, apakah mereka sudi menjadi obat bagiku?"
Hallo guys!
welcome to back yaaaaa
gimana kabar kalian?
semoga baik-baik saja ya
hehehe jangan lupa vote and komen ya
kritik saran juga hehhe akan ku terima dengan senang hati heheh
-salam cinta dari author
KAMU SEDANG MEMBACA
Lengkara di Ujung Senja (Segera Terbit)
Teen FictionBagi Anindita, asumsi orang di sekitarnya adalah segalanya. Hidupnya bergelimpangan dengan komentar baik membuatnya merasa sempurna, seperti namanya. Sebelum akhirnya dia bertemu dengan Januari, lelaki dengan segala problematika kehidupan yang jauh...