Sinar mentari pagi memasuki kamar melalui sela gorden yang sengaja terbuka. Angin segar serta aroma khas pagi mengeruak di indra penciuman. Sayangnya hal itu tak membuat Anin bangun dari mimpinya. Rasanya berat sekali untuk bangun. Ponselnya berdering berkali-kali membuatnya terpaksa membuka ponselnya meskipun ia enggan.
"Aish, bisa ngga buat gua tenang dulu!" Gadis itu berteriak kala melihat pesan dari Mala. Gadis itu langsung membanting ponselnya hingga hancur. Gadis itu kembali berteriak tidak jelas. Meraung-raung meminta perhatian.Tak lama kemudian, mobil milik Dinda memasuki pekarangan rumah. Dengan kecepatan kilat, wanita paruh baya itu berlari ke lantai dua untuk menggunjungi putri bungsunya.
"Gua harus gimana? gua ngga suka semua ini! kenapa semua orang menuntut ini itu. Aku ingin dicintai apa adanya!" Dinda menghentikan langkahnya ketika mendengar ucapan putrinya. Hatinya teriris kala mendengar anaknya menangis.
"Din?" Dinda tersadar akan lamunannya kala Rama, sang suami menepuk bahunya.
"Ram, Anin di-"
"Biar aku yang urus. Kamu di ruang tamu aja" Wanita itu mengangguk, percaya bahwa suaminya akan menyelesaikan semuanya dengan baik.
Rama perlahan membuka kamar Anin. Tampak di sana Anin berpenampilan berantakan. Bekas luka di pergelangan tangan yang selama ini ia tutupi dengan jam tangan kini terlihat dengan jelas.
"Anin?"
"Kenapa ayah ke sini"
"Kamu?"
"Ayah mau apa ke sini? mau mbahas IPK aku yang turun atau mau mbahas sudah sampai mana belajar UTBKnya?" Rama begitu terkejut kala mendengar pernyataan dari putrinya. Anin, putri yang begitu penurut yang tak pernah membangkang yang hidupnya begitu sempurna sejak kecil tiba-tiba berubah seperti monster yang hilang kendali.
"Ayah pasti mau tanya itu kan? ayah mau tanya alasan kenapa IPK Anin turun? terus udah sampai mana persiapan UTBK? iya kan, yah? Ayah ngga bakalan tanya keadaan aku. Ayah ngga bakalan peduli sama aku kan? yang ayah peduliin cuma nilai aku kan?" Rama hanya diam menatap sendu Anin yang sudah banjir air mata. Dinda yang mendengar keributan dari lantai atas pun langsung berlari menyusul suaminya.
"Astaga, Anin!"
"Jangan mendekat, Bunda! atau aku akan lompat dari balkon" Langkah Dinda terhenti. Wanita paruh baya itu hanya menggelengkan kepalanya.
"Ayah sama bunda mau yang terbaik buat kamu, Nin. Ayah bunda cuma mau hidup kamu tentram di masa depan"
"Terbaik, terbaik, terbaik! Aku muak ayah! Aaghh!" Anin membanting lampu tidurnya. Membuat lampu kaca itu hancur berkeping-keping hingga melukai telapak kaki Anin.
"Anin kamu kenapa jadi gini? kam-"
"Bunda nanya kenapa aku gini? aku rasa aku tau alasan kenapa Kak Megan memilih untuk bunuh diri. Karena ayah bunda kaya gini kar-"
"Anindita! Jangan pernah membawa kematian Megan untuk mem-"
"Kenapa, yah?! itu faktanya kan? Kak Megan ngga pernah suka semua yang berbau kesehatan! Kak Megan suka basket. Tapi kenapa kalian buat Kak Megan kehilangan dunianya!" Tangan Rama siap menampar Anin tetapi sayangnya tangannya ditahan oleh Dinda. Pandangan matanya beralih pada Dinda. Dinda menggelengkan kepala seolah berkata jangan main kasar.
"Tampar aja yah. Tampar! kalian ngga pernah sayang sama aku kan? kalian cuma mau memperalat aku supaya garis keturunan sebagai dokter ngga terputus. Kalian buat anak pertama kalian bunuh diri! kalian yang buat Kak Megan meninggal! semua salah kalian!"
Plakkk
"Megan bunuh diri karena kehilangan kesempatan emas buat masuk kedokteran karena dia kehilangan pendengerannya karena kamu! Kamu yang buat Megan meninggal! kamu penyebab semua ini! harusnya kamu bertanggung jawab atas hal itu Anindita!" Bagai belati yang menancap di dalam hati Anin. Kalimat yang selama ini ia takutnya keluar juga. Iya, dia penyebab Megan meninggal.
"Rama!" Dinda tak menyangka bahwa kalimat itu keluar dari mulut suaminya. Dinda menatap Anin yang sudah berlinang air mata.
"Engga, Nin. Kam-"
"Engga usah disangkal, bun. Bagi ayah aku cuma orang yang buat anak kesayangannya kehilangan pendengarannya. Makanya ayah maksa aku untuk menggantikan posisi Kak Megan. Iya, menjadi puteri yang dikagumi seluruh dunia. Dokter bedah Laluna Anindita itu kan yang ayah mau? ayah mau nyiksa aku karena ayah tau kan kalau aku ngga suka hal itu" Kaki Anin melemas seketika, tak lagi kuat menopang tubuhnya. Gadis itu terduduk di samping ranjangnya sambil mengepalkan tangan.
Anin, lo kebanggan kampus kita tau
Anin, kalau ada kesempatan gua mau merasakan jadi lo deh
Anin, hidup lo sempurna banget ya
Anin, nama lo Anindita kan? gua abis searching artinya sempurna. Pantes hidup lo sempurna banget
Anin, lo pake pelet apa sampe dosen kasih nilai bagus?
Mentang-mentang lo komting bukan berarti lo semena-mena sama gua!
Lo ngga usah sok belain Anugrah deh
Anin, kamu gagal lagi? kapan sih kamu berhasil? bunda capek loh Nin
Kamu kurang belajar pasti! ayo fokus Anin!
"Aghhhh! kalian bikin gua gila! gua ngga mau jadi sempurna! gua cuma mau dicintai sebagai Anin!" Anin kembali memecahkan barang-barang di kamarnya. Anin sudah tidak kuat lagi. Kepala Anin ingin meledak.
"Anin, bunda sama ayah sayang banget sama kamu. Ayah bunda cuma mau yang terbaik buat kamu. Bun-"
"Sayang? bunda bilang sayang aku? gimana aku bisa percaya kalau bunda sayang sama aku? sedangkan bunda sendiri ngga tau apa yang aku suka. Bunda ngga pernah tau kalau aku ngga suka rendang. Bunda ngga pernah tau kalau aku ngga suka coklat. Bunda ngga tau kalau aku suka nyanyi. Bunda ngga pernah tau kan? Bunda ngga pernah tau kalau aku tiap malam nangis. Bunda ngga pernah tanya aku sukanya apa kan?!" Dinda hanya diam tak mampu mengelak. Ia kira dia tau segala tentang anaknya. Tapi nyatanya tak tau apa-apa tentang anaknya. Ia kira dia sudah dekat dengan anaknya tapi ternyata dia terlalu jauh dari anaknya. Dinda sudah berusaha semampunya untuk mencoba mengerti anaknya tetapi lagi-lagi dia gagal mengerti anaknya. Sama halnya seperti dirinya yang gagal mengerti perasaan Megan sekarang dia mengulang kesalahan yang sama yaitu dia gagal mengerti perasaan Anin.
"Bun, keinginan aku cukup sederhana. Aku cuma mau bunda tanya keadaan aku. Apa aku baik-baik aja? apa hariku baik? atau apa kuliahku ada masalah? bukan bertanya seberapa jauh aku sudah mempelajari UTBK. Aku muak, bun. Aku ini manusia bukan boneka yang bisa bunda atur seenaknya. Aku punya perasaan, bun. Aku capek harus belajar hal-hal yang ngga pernah aku suka. Aku capek bun mengejar hal yang aku udah tau endingnya. Aku capek bertahan di hal yang aku benci" Anin benar-benar lelah. Dia benar-benar muak dengan segala harapan yang ada di pundaknya. Kali ini dia berada di titik terlemahnya. Kali ini dia coba memberontak kepada keadaan.
"Bun, Yah. Aku cuma mau sebagai bebek bukan sebagai angsa cantik yang kalian inginkan. Aku ingin di sayangi karena itu aku bukan karena aku sempurna. Aku ngga sesempurna itu karena pada nyatanya aku banyak luka"
Hallo welcome to back hehe
bagaimana kabar kalian?
semoga baik-baik saja ya
btw jangan lupa vote and komen ya
kritik saran juseyo hehhe
-salam cinta dari author
KAMU SEDANG MEMBACA
Lengkara di Ujung Senja (Segera Terbit)
Teen FictionBagi Anindita, asumsi orang di sekitarnya adalah segalanya. Hidupnya bergelimpangan dengan komentar baik membuatnya merasa sempurna, seperti namanya. Sebelum akhirnya dia bertemu dengan Januari, lelaki dengan segala problematika kehidupan yang jauh...