14. Why'd You Only Call Me When You're High

683 82 3
                                    

Naya dan papanya Jayden udah sampe di salah satu restoran asian cuisine yang lumayan terkenal di kalangan orang seangkatan papanya Jayden. Restoran klasik yang udah dibangun cukup lama. Suasananya tenang, pelayanannya juga oke.

Kebanyakan pelanggan di sini memang umur 40an ke atas. Banyak oma-oma yang lagi hangout sama temen-temennya juga. Tas, sepatu, perhiasan, semua yang menempel di badan oma-oma tadi ngingetin Naya sama keluarganya Jean.

Keluarga dengan kelas sosial ekonomi di atas rata-rata. Untuk mesen satu menu di restoran ini aja, Naya bisa mikir sepuluh kali sebelum bener bener tau apa pesanannya. Matanya bakal selalu cari mana menu paling murah dan bisa dia makan.

Naya gak begitu familiar sama latar belakang keluarga Jayden. Yang Naya tau, Jayden memang pernah ikut papanya ke London dan sekolah di sana sekitar 5 tahunan. Tapi herannya, papanya Jayden kayak udah familiar banget sama Naya.

Meski begitu, Naya tau Jayden bukan orang sembarangan, walau gayanya gak se nyentrik keluarganya Jean.

"Selamat siang. Sudah reservasi?"

"Belum. Ada table untuk 3 orang?" tanya papanya Jayden.

"Ada, Pak. Boleh ikuti saya ke meja," ucap pelayannya dan ngarahin mereka ke meja mereka.

Gak lama setelah duduk, Naya ngeliat Jayden dengan kemeja putihnya di ambang pintu. Jayden yang dipandu pelayan langsung nunjuk ke arah kita.

Jantung Naya mulai berdebar. Udah cukup lama mereka gak ada komunikasi. Bisa dibilang orang asing yang pernah deket. Pertemuan terakhir mereka jelas bukan pertemuan yang mau Naya inget. Berita resign yang diterima buruk oleh Jayden itu bikin Naya cukup jaga jarak.

"Akhirnya anak Ayah dateng juga." Papanya Jayden berdiri nyambut putra sulungnya yang udah keliatan dewasa.

Keluarga ini keluarga cemara yang gak pernah Naya lihat langsung di dunia nyata. Jayden, seorang putra sulung laki-laki, sama sekali gak jaim untuk meluk ayahnya erat-erat di tempat umum. Hubungan keluarga sehat kayak gini termasuk keajaiban buat Naya.

"Ibu gak ke sini?" tanya Jayden terus duduk di sebelah Naya.

"Engga, Ibu juga lagi ketemu temennya. Tadi Ayah ajak golf katanya dia mau jalan-jalan. Ayah malah ketemu temenmu di tempat golf."

Jayden dan Naya saling kunci tatapan. Naya senyum canggung biar gak keliatan ada masalah sama Jayden.

"Ayah gak ke kantor?"

"Ayah ke kantor fleksibel aja. Karena di sini jadi Head-nya, lebih banyak urusan ke pusat. Dan pasti meetingnya online kalau sama mereka. Tapi kalau dibutuhin di kantor, Ayah berangkat."

"Berarti gak harus ke kantor?"

"Enggak. Ayah gak mau bikin peraturan yang ribet-ribet. Ini berlaku juga buat semua karyawan."

Naya merhatiin pembicaraan mereka. Selain kemiripan wajah, cara ngomong, dan gestur, cara pikir dan susunan kata mereka juga mirip. Jayden adalah versi kecil ayahnya.

"Terus kerjaan kamu gimana sekarang?"

"Aku lagi cari prospek yang lebih baik."

"Kamu gak mau pindah ke FMCG atau corporate lain kayak Ayah? I mean, i know you are passionate in creative working. But isn't it unstable and tiring?"

"Im considering it. But i dont know what im good at besides drawing."

"Young man. I never told you to be a text-book smart only. You saw me. I rely on my street smart potentials."

"Thats our difference, Yah. Im not good with that."

"Well, alright. You can learn from me anytime. Oh, ya. Kamu sekarang kerja di mana, Nay, kalau udah gak sama Jayden?"

Escapism. Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang