"Maksud kamu apa?"
Jean narik napas dalam dalam dan coba tenangin dirinya. Dia ngelepas dasi yang nyekik lehernya lalu ngebuka kancing paling atas kemejanya.
"Kamu mau ninggalin aku?" tanya Naya lagi karena Jean butuh waktu lumayan lama untuk jawab.
"Kalau misal kamu memang negatif, kita selesaikan semua hubungan kita ini. Aku akan pergi. Tapi..."
Jean mulai netesin air mata lagi. Bibirnya yang bergetar dia tahan kuat-kuat. Berkali-kali dia ngembusin napas panjang.
"Kalau kamu positif, kita gugurin aja, ya? Kamu belum siap juga kan, Nay?" Jean berusaha kerasa agar terdengar enteng saat ngucapin hal itu.
Padahal air matanya udah gak bisa terbendung. Kalimat itu dia ucap sambil nahan rasa sakit kayak dihujam pisau berkali-kali di dadanya. Hanya Jean dan Tuhan yang tau betapa dia sebenernya menanti anak itu.
Kaki-kaki Jean makin lemas. Pria jangkung itu sampai harus berlutut. Dia cuma bisa berdoa kalau Naya mengerti kondisi yang gak bisa dijelasin ini.
Naya ikut berlutut. Rasanya Jean gak pernah keliatan semenderita ini. Jean bukan pria cengeng di depan Naya. Dia mungkin keliatan kayak pengecut yang hobi mohon mohon kalau buat salah. Tapi air mata Jean mahal harganya. Dan ngeliat pria ini nangis sesenggukan, mungkin ada sesuatu yang terjadi.
"Mama tau, ya?" tanya Naya, coba tebak-tebak apa yang terjadi.
"Engga. Aku cuma mau yang terbaik untuk kita. Maaf. Maaf aku gak ada pilihan lain," ucap Jean sambil geleng-geleng kepala dan nunduk.
"Jean..."
Jean coba tatap mata perempuan yang dia khianati itu. Mata dan hidung merahnya jarang Naya lihat. Jean keliatan terlalu rapuh untuk sosoknya sebagai pemimpin yang selalu tegas dan tau apa yang harus dilakuin.
"Aku akan temenin kamu USG besok. Tapi tolong, apapun yang terjadi, jangan kandung anak aku. Jangan nikahin aku."
Naya ambil tangan Jean dan dia genggam. Kata kata itu sebetulnya cukup menyakitkan. Hati kecilnya masih nganggep Jean adalah pria yang dia sayangin dan udah dia bayangin masa odepan mereka.
Naya selalu berandai-andai punya keluarga kecil sama Jean dan hidup sederhana. Dia terpikir akan berhenti kerja setelah punya anak dan jadi ibu rumah tangga penuh waktu. Dia akan didik anak mereka untuk jadi pekerja keras kayak Jean walaupun dengan segala privilege yang dimiliki dari orang tuanya dia.
Tapi bener, Naya sendiri belum siap untuk semua itu.
Membangun keluarga kecil itu Naya bayangin pas umurnya udah 30an. Ketika mereka udah beberapa tahun menikah dan tinggal di perumahan dengan lingkungan baik untuk ngebesarin anak mereka.
"Aku tau pasti ada yang terjadi sama keluargamu. Entah itu mamamu yang gak terima dengan kabar ga pasti ini atau hal lain, aku akan coba ngerti," ucap Naya lalu ngelus kepala Jean.
"Tapi... kamu ngomong ini karena keluargamu, kan? Bukan kamu yang gak mau, kan?"
Ucapan Naya bikin hati Jean makin tercabik. Jean bangkit dari berlututnya terus ngusap air matanya. Perempuan itu masih nganggep pria ini berhati baik, walaupun dia marah stengah mati karena Jean selingkuh.
"Ini mauku, Nay. Bukan keluargaku."
Naya menelan ludah secara paksa. Dadanya langsung terasa kebakar ngedenger hal itu. Jean memang pembohong ulung. Bahkan Naya bisa setengah percaya karena omongan itu.
"Kasih tau aku kalau kamu mau USG. Aku pergi dulu."
Jean buru-buru pergi dari apartemen Naya dan pulang ke apartemennya dia sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Escapism.
Fanfiction🔞 Drunk calls, drunk texts, drunk tears, drunk sex I was lookin' for a man who was on the same page A fanfiction of Na Jaemin and Lee Jeno