Teras rumah Jayden jadi saksi tangisan bisu Naya malem ini. Suara-suara kendaraan dari jauh ngisi kekosongan kepala Naya.
Jayden udah tidur lebih awal. Kayaknya dia secapek itu hari ini. Dia gak punya energi untuk nampung kesedihan Naya. Naya maklum, gak ada paksaan untuk Jayden jadi samsak dia.
Perempuan ini jadi perempuan paling miskin di dunia. Hal seremeh keluarga pun dia gak punya. Gak perlu jauh-jauh ngomongin kasih sayang orang tua atau jasa jasa orang tua. Adil sama anaknya pun ibunya belum sanggup.
Pintu utama kebuka dan ngagetin Naya yang lagi bengong. Ternyata papanya Jayden belum tidur. Ada dua kursi di teras depan dengan meja kopi rotan dan kaca di tengah dua kursi itu. Papanya Jayden duduk di kursi sebelah kiri.
Gak ada pertanyaan apapun walau kegiatan bengong ini gak terlihat wajar. Pria itu cuma duduk, naro bungkus rokok Marlboro di atas meja kopi, sepaket sama korek canggih ala mafianya itu.
"Mau?" tawarnya singkat.
Naya ngangguk dan ambil satu batang terus dia taro mulutnya. Papanya Jayden bantu nyalain rokoknya Naya.
Rokok yang cukup berat ini bukan selera Naya. Terlalu nonjok di tenggorokan, cocoknya untuk perokok kronis yang gak akan puas dengan rokok murahan.
Anehnya, kali ini hisapan itu kerasa ringan di dada Naya.
"Saya gak punya anak yang bisa diajak ngerokok," ucap papanya Jayden setelah nyalain rokoknya sendiri.
"Jayden bisa ngerokok, Om," ucap Naya.
"Oh ya? Gak mungkin."
"Dia pernah ngabisin stengah rokok biar saya gak ngerokok. Selain itu saya gak pernah liat lagi, sih."
"He even sacrificed his virgin lips for you, huh?" papanya Jayden ketawa kecil.
"No, young lady. I believe its not his first time," tambahnya terus ngelanjutin ngerokok.
Naya jadi senyam senyum sendiri. Pikiran tentang Jayden yang selalu jadi anak teladan malah terdengar kayak bohongan. Bener, dari keluarganya sendiri, sama sekali gak ada tuntutan untuk Jayden jadi anak teladan yang mematuhi semua aturan.
"Ucapan saya jangan banyak dimasukin hati, ya. I tend to be more straightforward with slight humor in it. Jayden picks up his character from his mom. Soft spoken, romantic, caring. So much like his mom."
Mata papanya Jayden selalu berbinar kalau ngomongin istrinya, bahkan di bawah cahaya teras yang remang-remang malam ini.
"Aku denger cerita Om sama Tante juga, um, agak mirip sama cerita Jayden?" tanya Naya ragu.
"In general, yes. But he faces more struggle than us. I dont know what you both face but, im sure it will pass."
Papanya Jayden matiin rokoknya. Dari obrolan singkat malam ini, Naya belum bisa ngeliat gambaran yang lebih besar tentang apa yang papanya Jayden omongin.
Pikirannya masih nyangkut di rumah. Jayden belum tau persis apa masalah Sheila. Semakin dekat dengan orang tua Jayden, semakin Naya ngerasa gak pantes untuk keluarga ini.
Untuk apa dia bawa dirinya yang penuh masalah ke keluarga Jayden? Ayahnya bisa selembut itu sama perempuan yang gak dia kenal baik. Selama ini Naya gak ngerti sosok ayah yang seharusnya kayak apa. Memorinya sekedar pergi jalan jalan piknik sama ayahnya satu kali pas kecil.
"Kamu istirahat dulu. Your mind is gonna get better when you wake up tomorrow."
"Ah, iya, Om."
***
Naya istirahat di kamar Jayden malam ini. Jayden juga ada di sana, tidur di kasurnya dengan lelap. Sejujurnya, Naya merasa gak enak kalau harus tidur seranjang di rumah keluarga ini. Walaupun keluarga mereka sangat liberal dan gak peduli.

KAMU SEDANG MEMBACA
Escapism.
Fanfiction🔞 Drunk calls, drunk texts, drunk tears, drunk sex I was lookin' for a man who was on the same page A fanfiction of Na Jaemin and Lee Jeno