1. The Unrestored Memory

398 21 2
                                    

Gadis itu berdiri di antara pepohonan rindang. Udara dingin pegunungan membawa butiran salju yang menerpa wajahnya, mengibarkan rambutnya yang seungu plum. Secarik warna merah di antara helaian rambutnya serta pupil bintang yang seolah berkilauan itu seharusnya menjadi pertanda, bahwa ia tidak terlahir sebagai seorang Fantasia biasa. Namun hingga hari itu, ia masih belum menyadarinya.

500 meter di belakangnya, seorang anak laki-laki terengah menyibak setiap dahan pohon yang merintang. Dengan carikan merah sama di antara helai plum rambutnya dan pupil bintang yang identik, tidak ada orang lain yang mungkin menjadi tujuan pencariannya. Seharusnya ia tahu, keidentikan tidak biasa mereka sejak lahir sebenarnya merupakan pertanda. Dia terlahir bukan sebagai seorang petarung biasa. Namun hingga hari ini, ia masih belum menyadari kenyataan itu.

Tidak sampai hari ini, ketika usia mereka genap dua belas tahun.

Anak laki-laki itu adalah aku, dan ini adalah permulaan dari berubahnya seluruh jalan takdir kami.

Aku menyibak dahan terakhir, seketika menemukan gadis yang sedari tadi kucari rimbanya. Menyadari ia tengah memunggungiku, aku segera memanggil. “Kiara!”

Gadis itu berbalik. Begitu melihat kehadiranku di antara terpaan salju, ia mengulaskan segaris senyum. “Labrador,” balasnya memanggil. “Ibu memintamu mencariku ke sini karena Ayah sudah mulai mengamuk megingatkan jadwal latihan?”

Ya, perkenalkan. Ini Kiara, saudari kembarku yang memiliki ciri fisik persis denganku. Rambut dan iris ungu layaknya buah plum, selarik warna merah di rambut, dan pupil bintang. Ini memasuki tahun kedua belas kami hidup bersama di bawah didikan ayah yang keras.

“Tidak,” aku menggeleng, melangkah mendekat hingga sampai di sisinya. “Kau sudah tahu kalau hari ini mereka sedang menghadiri rapat antarklan, bukan? Seharusnya mereka baru akan kembali selepas petang.”

Kiara mengalihkan pandangannya, kembali menatap langit gelap di balik rimbun pepohonan. “Iya juga,” gumamnya pelan sebelum kemudian menghembuskan napas. “Belakangan mereka sudah semakin sibuk, ya,” ujarnya seraya mendudukkan diri di hamparan salju. Aku mengikuti duduk di sampingnya.

Menghela napas, aku ikut menatap langit. Meski seharusnya hari belum begitu senja, iklim dingin Pegunungan Snowpine tidak membiarkan cahaya matahari masuk lebih dari yang dibutuhkan salju abadi di sini untuk tidak mencair.

“Semakin hari, konflik di daerah perbatasan sudah semakin menajam. Ayah bilang, kita harus bersiaga seandainya perang akhirnya merambat ke kawasan kita. Itulah mengapa dia sangat ambisius ingin melatih kita, kan?” sahutku meluruskan kaki.

Sejak usia enam tahun,  sebenarnya Ayah memang sudah melatih kami berdua habis-habisan. Bela diri, ilmu pengetahuan, pengobatan, sihir, keterampilan bertahan hidup, begitu banyak sampai-sampai aku sudah hampir muak. Hanya saja, dua tahun terakhir ini Ayah meningkatkan porsi latihan menjadi berkali lipat dan memfokuskan pelajaran pada latihan bertarung, dengan alasan perang yang sudah semakin berbahaya. Meski terkadang itu membingungkan, kami tidak punya pilihan selain menuruti keinginannya.

Kiara menoleh, menatapku dengan pupil bintang semringahnya yang seolah makin gemerlap. “Omong-omong, Labra, apa kau ingat besok hari apa?” ucapnya, seolah-olah itu adalah topik yang brilian.

Aku mencoba menghitung. “Sebentar … kalau seharusnya nanti malam purnama penuh musim ini, itu berarti—oh,” kurasa aku menyadari apa yang coba Kiara sampaikan, jadi aku menatapnya. “Ulang tahun kedua belas kita.”

Kiara menyeringai begitu lebar seolah dia senang mengetahui dirinya bukan satu-satunya orang yang mengingatnya. “Bagus kau ingat, Labra! Dan kau tahu apa? Aku mengumpulkan cukup banyak buah beri di hutan pagi ini!” ia mengacungkan kantung kain yang sedari tadi ada dalam genggamannya, memamerkan butiran ranum di dalamnya. “Mungkin kita bisa membuat pai untuk besok!” soraknya riang, yang kusambut dengan penuh gairah.

Labrador: The Empathless HarbingerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang