18. An Obfuscating Misantrophy

76 6 1
                                    

Seranganku pasti sudah akan mencacah habis mereka dalam satu hitungan, namun selapis pelindung sihir berdenyar ketika aku menebaskannya dengan pedang besarku. Bisa kulihat mereka tampak terguncang, tidak menyangka aku akan mengonfrontasi.

“Tunggu!” salah seorang dari mereka merentangkan tangannya, menahan pergerakan tiga orang lainnya yang mempersiapkan senjata, sebelum kemudian memfokuskan pandangan pada Kiara. “Itu—tidak mungkin, siapa yang ada di sebelah Labrador?”

“Ilusi tingkat tinggi,” desis satu orang lagi. “Mewujud dengan menyesuaikan memori korban sehingga sukar ditepis, dipasangi mantra manipulasi dan cuci otak? Tidak, sialan. Labrador—”

Di sebelahku, Kiara meloloskan desah pelan. “Kalian cukup pintar untuk ukuran kacung GM, tapi apa menurutmu itu saja cukup?” ia memberiku satu lirikan terakhir sebelum kemudian menghilang ditelan kepulan asap.

Sebelum benar-benar menghilang, satu kalimat terakhirnya masih sempat mengudara. “Sayangnya, adikku sudah tidak bisa kalian selamatkan. Menyerahlah sekarang dan kalian mungkin akan bisa kami ampuni.”

Aku tidak sempat memproses semua yang terjadi. Otakku terasa mendidih bagaikan kawah api, seluruh kendali tubuhku luruh pada selubung kekuatan Aura yang semakin pekat menyelimutiku. Sementara itu, fokusku dipancangkan pada sebuah kalimat perintah yang berkecamuk dalam benakku.

Musuh. Habisi mereka semua.

MENGAMUKLAH.

Maka, aku menerjang maju, tidak memberi ampun sementara pekik samar dari suara yang kemudian kuingat sebagai rekan-rekanku hanya terdengar tipis-tipis. Begitu juga seberkas sosok mereka yang hanya terlihat sebagai siluet bagiku, yang tengah berkelebat memasang posisi tarung. Aku tidak peduli, kini di mataku mereka tidak lebih dari target hidup yang harus segera kuhabisi.

Mereka mengatakan sesuatu yang tidak bisa kudengar, sebelum salah satu dari mereka merangsek maju dengan pedang berbalut sihir gelap di tangannya. Insting liar yang bukan milikku menggerakkan tubuhku, mengendalikan sihir Auraku hingga berbenturan dengan seorang berpedang itu. Sihir hitamnya melesat bagaikan lengan gurita, namun kekuatan Auraku menebas semuanya dalam sekali lintas sekaligus membanting si pengguna pedang ke tengah-tengah tiga orang lainnya.

Aku tidak menunggu kondisinya pulih. Dengan kecepatan Aura, kesadaran yang bukan milikku mengendalikan setiap pergerakanku, menggiringku menghunus pedang secara bengis dan mengejar mereka tanpa lengah.

Pemikiran rasionalku terkubur oleh hasrat membunuh nan ganjil, namun rasa yang kualami berbeda dengan dikendalikan secara utuh bagaikan boneka. Aku bisa merasakan—bahwa sebagian dari pergerakanku, setidaknya sepertiga kesadaran yang menggerakkan tubuhku menyerang—adalah keinginanku sendiri. Aku memang ingin menebaskan pedangku ke arah mereka, membantai siapa-siapa dari mereka yang sudah tidak bisa kupercayai lagi. Selebihnya, insting liar dan hasrat ganjil untuk membunuh yang mengepul dalam darahku dengan senang hati membantu, mendukung dengan kekuatan agak terlalu besar yang menjadikanku tak ubah menggila dalam pusaran selubung kekuatan sihir Aura.

Mereka kembali mengucapkan sesuatu satu sama lain. Meski rasanya seperti mendengar dari balik air terjun nan deras, aku tahu bahwa salah seorang dari mereka berbicara dengan nada memerintah dan tengah mempersiapkan aba-aba.

Selintas denting sihir memelesat di belakang kepalaku. Aku berbalik, menghalau sebuah anak panah yang terlontar mengincar tengkukku. Saat berbenturan dengan bilah pedangku, anak panah itu semata-mata meledak menjadi serpihan cahaya menyilaukan yang membuatku refleks memicingkan mata. Aku melangkah mundur, namun segaris sihir hitam mencuat dari tanah dan membelit pergelangan kakiku, terus naik dan berusaha membebat pula tungkaiku. Kekuatan Auraku sekadar memperganas selubungnya dan sihir hitam-ungu itu hancur berkeping bagaikan kaca pecah.

Labrador: The Empathless HarbingerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang