Dengan kondisi setengah mengawang seakan aku adalah jiwa tanpa raga, aku seolah dipertontonkan paksa pada sebuah kilasan balik. Hanya bisa menonton dan mencerna apa yang coba disampaikan padaku.
Aku dihadapkan pada pemandangan sebuah kota. Aku belum pernah menginjakkan kaki di tempat ini sebelumnya, tapi entah bagaimana aku tahu kalau aku dibawa ke Tanah Minoir, sebelum tragedi kutukan itu membumihanguskannya hingga tiada sisa.
Pemandangan itu bergerak maju, memusatkan fokus pada jalanan berbatu tempat banyak orang berlalu-lalang. Menyibak kerumunan, penglihatanku dipancangkan fokus pada satu orang. Seorang anak laki-laki, usianya mungkin sekitar tujuh tahun, rambutnya pirang keemasan nan rapi. Matanya yang berkilat awas sebiru laut dalam, sementara raut serius di wajahnya menjadikannya seolah memiliki pemikiran yang jauh lebih tua ketimbang tampilan fisiknya. Ia mengenakan kemeja kebagusan dan bretel yang tersambung pada pantalon cokelat gelap, membuatnya kelihatan seperti orang kaya sejak lahir.
Sesaat kemudian, aku menyadari, kalau dia adalah Davin di masa kecil.
Davin berjalan di antara kerumunan. Dari langkahnya yang diseret pelan, kemungkinan dia berusaha sebisa mungkin untuk tidak menarik perhatian. Sayangnya, penampilannya yang terlampau berbeda menjadikannya sosok yang mencolok di antara keramaian rakyat jelata. Meski ia berusaha berpaling, kasak-kusuk mengudara ke manapun langkahnya dibawa.
“Hei, coba lihat anak itu.”
“Bukannya dia anak dari Tuan Gilbert Archendiaz? Kudengar harta mereka bahkan melebihi gaji pejabat kota.”
“Tentu saja, penerus keluarga terkaya di tanah ini! Aku sungguh berharap mereka dimasukkan dalam jajaran bangsawan saja sekalian, daripada luntang-luntung dalam status sosial tidak jelas antara keluarga pedagang biasa dan mereka yang ditinggikan saking kayanya mereka.”
“Heh, menurut yang kudengar, keluarga mereka itu terkenal tamak. Kau mau dipimpin oleh orang-orang yang gila harta?”
Aku melihat Davin mendecih, bergegas mempercepat langkahnya menjauh hingga telinganya tidak dapat menangkap suara mereka lagi. Sayangnya, sejauh apapun kakinya melangkah, kasak-kusuk baru lainnya terus berdatangan. Membuatnya terus memutar langkah hingga bertukar menjadi lari. Kabur dari segala ucapan orang lain yang terlalu memuakkan untuk terus didengar.
Adegan berganti. Aku dihadapkan pada sebuah ruangan terlampau mewah, dengan kandelir emas di langit-langit dan sebagainya, sementara Davin terlihat tidak nyaman di hadapan dengan dua orang yang pasti adalah orang tuanya. Mereka menatap Davin dengan tidak senang, seakan-akan ia baru saja memecahkan salah satu ornamen permata di ruangan itu.
“Kenapa kau ini susah sekali diberitahu, Davin?” wanita yang pasti adalah ibunya menatap Davin dengan tatapan menyalahkan, dan akhirnya aku tahu dari mana Davin mendapatkan raut menyebalkannya yang antik.
Pria di sampingnya memandang Davin dengan tatapan serupa. “Kami hanya memintamu diam dan menurut. Sesulit itukah buatmu mematuhi kami, sekali saja?” aku bisa melihat kemiripan keluarga pada garis wajah dan sudut matanya yang dipicingkan, tapi aku masih sulit percaya kalau Davin adalah anak dari orang seperti ini. Pria ini terlihat berwibawa dan penuh aura kebangsawanan, sementara Davin yang kukenal tidak terlihat jauh berbeda dari penyihir gelandangan yang terlalu banyak menghabiskan hidup di hutan belantara.
Davin bergeming di tempat tanpa mengatakan apapun, tapi aku bisa melihat raut kesalnya yang ditundukkan. Dia kesal karena keluarganya sudah semakin memuakkan dari hari ke hari, sementara dirinya yang berusaha mati-matian menghindar harus tetap dilibatkan. Nama Archendiaz yang terpancang jelas di punggungnya membebaninya dengan gosip miring yang bukan kesalahannya, menyeretnya serta dalam pandangan melenceng orang-orang atas desas-desus mengenai Archendiaz yang agak terlalu menggeneralisir. Seakan-akan seluruh keturunan Archendiaz adalah orang-orang yang egois nan serakah, gila akan harta dan rakus akan segalanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Labrador: The Empathless Harbinger
FantasyLabrador, itulah nama yang diberikan oleh kedua orang tuanya. Ace of Spade, itulah jabatan yang dipegangnya di usia belia. The Harbinger, itulah julukan yang disematkan kerajaan padanya. Mesin Pembunuh Tanpa Empati, itulah reputasi berdarahnya yang...