Kami menelusuri hutan dan menepi ketika melihat sosok perwujudan kutukan hitam itu sedang menghancurkan pepohonan.
Secara kasar, bentuknya barangkali mirip tenggiling raksasa setinggi enam meter. Moncongnya pendek mirip mamalia predator, dilengkapi deretan taring yang meneteskan bisa hitam. Ujung ekornya diganduli godam berduri, mengayun sana-sini dan merobohkan pohon-pohon. Sisik tajam di punggungnya menegak kaku, menjadikannya mirip landak raksasa berkepul asap hitam kutukan paling jelek yang pernah ada.
“Makhluk ini berasal dari dunia bawah,” jelas Davin. “Tidak akan mempan dibunuh, jadi tidak ada gunanya kau mengamuk sekarang. Aku bisa mengembalikannya ke dunia bawah dengan beberapa mantra ritual, tapi aku butuh waktu. Kau alihkan perhatiannya, usahakan agar makhluk itu hanya berdiri di satu tempat. Aku akan coba menyelinap dan membelenggunya. Kau mengerti?”
Aku mengangguk perlahan, lantas menderapkan langkah. Aura biru tipis bergerak menyelimuti bilah pedangku, sementara kakiku membawaku menghampiri si makhluk tepat ke depan wajahnya.
Aku melompat. Pedangku terhunus, menebas ke moncongnya. Makhluk itu semata-mata menghadangku dengan asap hitamnya, memaksaku mundur ke dahan pohon terdekat. Sebelum aku sempat menyeimbangkan diri, makhluk itu menyalak nyaring tepat ke arahku seperti bajing mutan yang menggetarkan udara, alhasil membuat pijakanku goyah sementara kepalaku dihantam pening menderu sampai-sampai telingaku berdenging.
Lututku melemas, mendorongku berlutut di pangkal dahan. Aku hendak bangkit, namun bekas salakan tadi masih memenuhi kepalaku dan mengacaukan fokusku. Perlu usaha keras dan susah payah untuk mengingatkan otakku akan apa yang harus kulakukan—sambil membayangkan Davin yang akan mengamuk dan mengomel, “Ingat tugasmu, Labra!” yang sangat membantu—hingga akhirnya aku bisa kembali berdiri meski agak terhuyung. Kueratkan cengkeramanku pada gagang pedang, kini sihirku mewujud lebih padat menjadi asap biru tipis—bukan cuma aura redup—yang menyelimuti seluruh tubuhku, sementara aku maju menyongsong kepulan asap kutukan dan mendarat di punggungnya yang dipenuhi sisik besar tajam.
Ekor berduri si tenggiling ternyata juga melecutkan racun kutukan yang ia tebaskan padaku, namun sihir Auraku lebih kuat. Racun itu mendesis dan menguap setiap kali mengenai sihirku, meski sihirku juga terkikis perlahan di tempat yang terkena racun.
Agak sulit untuk berpijak kokoh di antara pasak-pasak tajam selebar papan pengumuman kota, namun aku meneguhkan diri dan mendekati kepala si tenggiling bajing, lantas menghunjamkan sekuat tenaga pedangku pada tengkuknya yang tidak dilindungi.
Davin bilang makhluk ini tidak bisa dibunuh. Aku paham, tapi dia menyuruhku menciptakan pengalih perhatian, kan?
Niatku adalah menusuk tengkuknya, membuat makhluk ini hilang fokus dan kebingungan di tempat sementara Davin—semoga—mendapatkan waktu yang cukup untuk memasang mantra ritualnya dan menyingkirkan makhluk ini kembali ke dunia bawah, atau semacam itu.
Jadi, aku tidak siap ketika hunjamanku ditangkis oleh bilah lain yang mendentangkan percikan dari gesekan logam, juga sihir yang muncul secara tiba-tiba di hadapanku.
Drystan. Dia muncul entah bagaimana dari udara kosong dan menangkis pedangku, membuatku terhuyung ke belakang dan hampir tertusuk salah satu sisik tenggiling. Aku bergegas kembali ke posisi siaga dan menatap si bawahan Herobrine, yang masih menyunggingkan seringai penuh kemenangan dalam balutan jubah hitamnya yang berkibar.
Iris obsidiannya berkikat-kilat menyambut tatapanku layaknya pedang pendek di tangannya. “Kurasa aku mengenali aura sihirmu, Nak. Bukankah kau yang menyebabkan longsor gunung tujuh tahun lalu dan menewaskan setidak-tidaknya 450 orang warga sekitar?”
“Itu tak ada urusannya dengan saat ini,” desisku tajam, bersiaga akan segala kemungkinan serangan darinya. Ini sulit, aura sihirnya yang misterius membuatku tidak bisa menaksir skala kekuatannya dan menghitung peluang yang cukup untuk menang. Sejauh yang kutahu soal pria ini, kemampuan sihir misteriusnya memungkinkan dirinya untuk menghilang dan muncul mendadak begitu saja, hampir mirip teleportasi meski kurasa kemampuan sejatinya tidak segamblang itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Labrador: The Empathless Harbinger
FantasíaLabrador, itulah nama yang diberikan oleh kedua orang tuanya. Ace of Spade, itulah jabatan yang dipegangnya di usia belia. The Harbinger, itulah julukan yang disematkan kerajaan padanya. Mesin Pembunuh Tanpa Empati, itulah reputasi berdarahnya yang...