26. Act of Rebellion

81 7 1
                                    

Dua bulan setelah malam itu, penyegelan Herobrine terjadi. Tuan Saryu alias Kesatria Spade, juga Liu alias Kesatria Heart, tewas mengorbankan diri demi menyegel Herobrine menggunakan sejenis penyegelan terlarang. Meninggalkan keempat kerajaan dalam masa pemulihan menyeluruh, meski kesibukan yang diberikan tetap tidak bisa mengenyahkan getir yang menggerogoti dadaku.

Selagi melangkahi reruntuhan bangunan yang tercerai-berai dan meneriakkan komando pada pasukan kerajaan, kepalaku memutar ulang kejadian beberapa jam yang lalu. Tanpa kukehendaki sebab tahu itu akan menghambatku, namun tetap tidak bisa mencegah diriku dari terus memikirkannya.

Tuan Saryu yang bersikeras agar aku dan Henry tetap berada di kota, konon demi mencegah lebih banyak korban berjatuhan.

Bruk. Satu lagi sisa retakan tembok yang menghalangi tersingkir, menyisakan ribuan lain yang masih harus diurusi tanpa terlewat.

Kilatan cahaya sihir yang membubung menembus langit dari tempat penyegelan. Sihir terakhir yang dirapalkan Saryu dan Liu dengan segenap nyawa mereka.

Seorang prajurit berseru, menemukan seorang korban yang masih bernyawa meski kondisinya kritis. Perintah evakuasi kuserukan meski apa yang terngiang di kepalaku adalah kalimat yang sama sekali lain.

"Kesatria Spade dan Heart telah mengorbankan nyawa mereka untuk menyegel Herobrine. Mereka telah menunaikan tindakan paling berani yang bisa dilakukan seorang kesatria. Mereka—"

Aku tidak mengingat kejadian selanjutnya, selain gejolak emosi yang memenuhi seluruh rongga tubuhku tanpa kecuali begitu mendapat kesimpulan singkatnya.

Saryu, juga Liu, telah tewas.

Kesatria Spade, kesatria legendaris terkuat, telah tiada.

Atasanku, orang yang telah mengembalikan empatiku, kini sudah tinggal nama. Aku bahkan belum sempat menunjukkan terima kasihku padanya, belum sempat menjadi bawahan yang pantas untuknya.

Dan kini, ia telah berpulang. Bahkan sebelum sebuah selamat tinggal sempat terucap.

"Labrador!"

Panggilan itu menyentakku dari lamunan yang entah sejak kapan kuselami. Aku mengerjap, bergegas menoleh pada sumber suara. Henry yang terpisah tidak jauh dariku, namun tidak cukup dekat hingga ia masih harus menyerukan panggilannya.

Aku segera menghampirinya. "Maaf, aku akan berusaha mengendalikan diri. Tidak sepantasnya aku termenung di tengah-tengah evakuasi seperti itu."

Henry tidak segera menjawab. Tatapan kami bertemu, dan aku sadar bahwa ia juga merasakan hal yang sama denganku. Kehilangan sosok pemimpin seperti Saryu adalah sebuah pukulan telak, sesuatu yang belum sempat kami persiapkan sebab tak mengira kejadiannya akan secepat ini. Meski, mau seberapa dalam penyesalan yang kami ratapi, itu tidak akan mengubah kenyataan yang terhampar. Saryu telah tiada.

Ia meremas pelan dadanya. Raut sesal tergambar jelas di wajahnya, sama seperti raut sendu yang mencetak permanen dirinya di wajahku. "Aku pun tidak menyangka Tuan Saryu akan tiada secepat ini," gumamnya lirih. "Kau tidak sendirian merasakan kehilangan, Labra."

Dari nada suaranya, kalimat Henry yang sebenarnya adalah "Aku tidak sendirian merasakan sakit," tapi kuputuskan untuk tidak membahasnya.

"Ah. Tapi," Henry tersentak mendongak, seakan baru teringat akan apa yang harusnya ia kerjakan. "Sebenarnya aku ke sini karena Raja GM memintamu dan aku menghadapnya. Jadi, kau bisa ikut sekarang?"

Mataku mendelik sekejap. "Sekarang juga? Bukankah kondisi kerajaan masih berantakan dan kita harus—?"

Henry menggeleng pelan, menandakan dia juga tidak mengerti atas panggilan mendadak di tengah tugas seperti ini. Namun, mau bagaimana lagi, kami bergegas berderap melewati lorong-lorong demi mencapai balairung agung sang Raja GM.

Labrador: The Empathless HarbingerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang