5. Dawn of The Knights

128 12 2
                                    

Aula utama kastil Olvia merupakan tempat yang sarat akan pancaran aura keagungan. Ukurannya yang cukup luas dengan satu bagian terbuka ke taman depan istana menjadikannya terasa lega kendati banyak manusia tengah berdesakan di dalamnya. Kandelir berhias permata sebagai penerangan menggantung di langit-langit, sama sekali tidak terancam jatuh menimpa salah satu pengunjung dan membuat keributan. Dekorasi penyambutan menambah semarak suasana hari itu, bersama buncah bahagia para warga istana kala menyaksikan pelantikan anggota baru pasukan Olvia yang telah diluluskan sore tadi.

Seharusnya, sebagai salah satu peserta yang berhasil melewati seleksi hingga babak terakhir, aku juga berada di sana, bergabung dalam pelantikan resmi dan mengucapkan sumpah setia untuk kemudian disahkan sebagai anggota pasukan kerajaan.

Namun, kini aku malah terjebak di sebuah ruangan lengang tertutup, bersama tiga orang aneh yang tidak kukenal sama sekali. Sama-sama menunggu entah apa yang akan menyambut kami.

Tolong jangan berpikir aku sedang dalam detensi akibat melanggar peraturan atau apa. Memang benar pada awalnya aku tidak terlalu bersemangat atau tertarik mendaftar, namun dorongan dari Tuan Alvaro dan anggota guild lain yang menyeretku kemari—secara harfiah—membuatku tidak punya pilihan. Belum lagi, mereka sudah mendaftarkan namaku tanpa izin—berani-beraninya!—dan meyakinkanku kalau yang perlu kulakukan hanya mengikuti seleksi tanpa banyak basa-basi. Pada akhirnya, aku terpaksa mengikuti permainan mereka. Mengikuti setiap babak seleksi hingga tanpa sadar aku sudah menyelesaikan babak terakhir.

Babak awal seleksi adalah tes pengetahuan—yah, kata siapa tentara itu cuma punya otak otot? Materinya kebanyakan pengetahuan dasar—yang mencakup teknik bela diri, pengobatan, strategi, juga logika—dan, terima kasih atas dua belas tahun pertama hidupku, aku masih ingat dengan jelas ajaran yang diberikan Ayah padaku di masa lalu. Semua materi yang diajarkannya terbukti berguna sekarang. Dengan segera aku lolos dan mengikuti babak selanjutnya.

Babak berikutnya sudah memasuki uji kecakapan—daya tahan fisik dan kemampuan bersenjata. Untuk ini, aku bahkan tidak perlu menggunakan sihirku atau kekuatan si Entitas bulan, kemampuan fisikku sendiri telah melonjak tinggi sejak tujuh tahun lalu. Tanpa halangan berarti aku meneruskan langkahku hingga sampai ke babak terakhir.

Seleksi terakhir adalah duel. Entah itu satu sama lain atau melawan prajurit senior, aku tidak tahu dan tidak peduli. Yang kuingat, komandan pasukan—yang juga mengawasi seleksi—menekankan pada kami berkali-kali, untuk mengeluarkan segala kemampuan dan potensi dalam diri, karena pertarungan ini tidaklah main-main.

Awalnya aku tidak menyeriusi peringatan itu, namun ketika pertarungan terbentang di hadapanku, baru kusadari bahwa seleksi bagian ini memang ada di level berbeda.

Lawan pertamaku adalah seorang pria muda—usianya mungkin tidak terlalu jauh di atasku. Begitu duel dimulai, ia langsung menyerangku bertubi menggunakan sihir elemennya—petir, kuduga. Kilat berderak di sekelilingku, mengejarku dalam kecepatan cahaya. Saat aku disibukkan dengan kepungannya, pria itu mengambil celah mendekat dan menendangku hingga terbanting tiga langkah.

Tanpa membiarkan pertahananku terbuka lebih lama, aku bergegas kembali ke posisi kuda-kuda. Baiklah, ini waktunya serius. Kuresapi energi yang mengalir di tubuhku, sebentar saja, dan kemudian aura biru tipis menyelimuti diriku beserta pedang di tanganku. Kekuatanku terasa berlipat ganda. Batas maksimal kemampuan fisikku seolah terdobrak, dan dalam sekejap mata, aku sudah melesat ke belakang punggung pria itu, menebaskan claymore yang bilahnya telah diperkuat bahkan menjadi lebih kokoh dari baja.

Pertarungan-pertarungan selanjutnya berlangsung dengan irama yang tidak jauh berbeda. Mereka menantangku maju lebih dahulu, memberikanku kesempatan mempelajari sepintas gaya bertarung mereka, untuk kemudian kubabat habis dengan sebagian kekuatan si Entitas. Hingga aku mengalahkan lawan terakhir dan dinyatakan lulus seleksi, untuk kemudian diminta menunggu di aula utama. Saat aku menanti di aula utama itulah seseorang—mungkin panglima, dilihat dari seragamnya—menemuiku dan mengatakan kalau kehadiranku ditunggu oleh seseorang, dan dia membawaku ke ruangan ini serta memintaku menunggu bersama tiga orang lainnya. Sebuah ruangan semacam ruang rapat yang sedang kosong, hanya diisi oleh kami berempat.

Labrador: The Empathless HarbingerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang