Hawa panas menggelegak dalam darahku. Tubuhku kaku seakan ototku dilapisi timbal. Energi sihir kebiruan mengitari tubuhku, membumbung semakin kuat. Aku bisa mendengar suara rekan-rekanku, menyerukan namaku dengan nada khawatir, namun suara mereka tidak lagi terasa penting. Dalam penglihatanku yang menggelap, aku menangkap bentuk utuh kedua tanganku.
Tidak ada lagi segel yang melingkarinya sampai ke lengan. Lilitan perban merah itu tercabik dan menyerpih, sementara kekuatan sang Entitas semakin memengaruhi tubuhku.
Di ujung sisa pendengaranku, sebersit suara yang familiar merasuki telingaku.
“Selamat datang, Kak Labra.”
-
Sepuluh jam sebelum kejadian itu, aku masih duduk-duduk di emperan istana dan berbagi kelakar dengan Davin.
“Mereka benar-benar mengincarmu, Labra.” Davin memain-mainkan sebongkah batu di tangannya, sementara tongkat panjangnya disandarkan di samping. “Aku tidak tahu kau punya daya tarik macam apa bagi mereka, tapi yang jelas kita harus berhati-hati. Kalau mereka berhasil mendapatkanmu, kita-kita juga yang bakal repot.”
“Hm,” aku menggumam samar sambil mengamati aksi simbang Davin. “Kau pakar sihir, kan? Kau tidak punya dugaan?”
Davin melempar-tangkap batu di tangannya, memainkannya demikian lihai di antara jemarinya. Mungkin dia akhirnya sadar kalau tongkat panjang terlalu tidak praktis untuk menjadi wadah penyaluran sihir, dan sekarang tengah berlatih mengendalikan batu untuk menjadikannya wadah baru penyaluran sihir.
“Dugaan, katamu?” Davin menjentikkan batunya, kemudian meraupnya dari udara dengan satu jari. “Aku sudah memikirkan segala kemungkinan sejak misi terakhir kita tiga hari lalu. Dilihat dari intensitas serangan mereka padamu, tujuan mereka bukan cuma memecah belah anggota kita. Mereka tahu soal kekuatanmu, dan tampaknya ingin kau hilang kendali atasnya. Mungkin mereka ingin memperalatmu, menjadikanmu mangsa empuk, nah, yang itu aku tidak tahu pasti.”
Misi terakhir. Misi pembobolan yang berakhir menghadapkan aku dan Davin pada Drystan, mantan tetangga lama Davin, yang kemudian berusaha mencuci otakku dengan menunjukkan aib-aib masa lalu Davin. Waktu itu aku memang berhasil melepaskan diri dari pengaruh sihirnya dan terbangun di ruang medis Istana Olvia, tapi tidak ada jaminan aku bisa seberuntung itu dalam pertarungan ke depannya.
“Tapi kenapa mereka hanya mengincarku?” aku berujar pelan. “Sebagai contoh, Henry dan Saryu pengguna sihir gelap. Bukankah mereka lebih punya potensi kekuatan yang bisa diincar?”
“Aku juga tidak mengerti pola pikir mereka,” tukas Davin tanpa kehilangan fokus atas batunya. “Kalau aku pribadi, mereka yang punya sihir langka memang lebih mencolok dan lebih rentan. Bukankah dulu Henry sempat cerita kalau dia juga pernah diincar orang lain sebelum bergabung ke sini? Mungkin mereka pikir akan terlalu mengundang dan merepotkan jika terang-terangan mengincar yang sihirnya langka, apalagi Saryu terutama menjadi semacam anak emas yang pasti bakal dijaga sepenuh hati oleh raja terhormat kita si tua GM. Mungkin mereka pikir kau yang punya kekuatan besar namun tidak terlalu menggegerkan bisa lebih mudah diincar, atau mereka memang punya sesuatu yang hanya bisa menggunakanmu sebagai tumbal atau apalah. Untuk itu, satu-satunya cara untuk tahu pasti adalah dengan menyambangi mereka sendiri, tapi pastinya bakal sulit dan juga riskan.”
Aku mendengar suara langkah yang tidak asing sebelum pemilik langkah itu mengeluarkan suara. “Wah, ternyata Ace dan King kita yang selama ini sering bertengkar sudah mulai akrab, ya?”
Henry dan Mitha. Mereka muncul entah dari mana dan mendekat, bergabung dengan tongkrongan kami. Seringai humor yang jarang ditunjukkan menghiasi wajah Mitha, sesuai dengan kalimat yang barusan dia lontarkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Labrador: The Empathless Harbinger
FantasíaLabrador, itulah nama yang diberikan oleh kedua orang tuanya. Ace of Spade, itulah jabatan yang dipegangnya di usia belia. The Harbinger, itulah julukan yang disematkan kerajaan padanya. Mesin Pembunuh Tanpa Empati, itulah reputasi berdarahnya yang...