Perjalanan turun gunung tidak pernah mudah.
Tapi, ketika berada di titik curam dengan kemiringan berbahaya, di bawah cahaya matahari yang sudah sangat miring, dan mendengar gemuruh longsor salju, segalanya jelas tidak akan baik-baik saja.
"Lebih cepat, Labra! Kita tidak boleh terjebak di tempat ini!"
Aku berusaha mempercepat langkahku, tapi lapisan salju begitu lembek dan tebal sehingga mustahil kakiku bisa bergerak bebas. Sementara itu, gulungan salju yang meluncur dari permukaan landai sama sekali tidak kesulitan mengejar. Dalam waktu singkat saja, bongkahan longsor itu sudah berada di atas kepalaku, siap menenggelamkanku dalam beku.
Namun, sebelum bongkahan itu menyentuhku, Kiara sudah menarik lenganku ke belakang, menghindarkanku dari gempuran longsor dengan berlindung di antara pepohonan. Meski hanya berguna menunda sesaat sebelum salju longsor itu menyeret kami sekalian, tapi itu sangat berarti memberikan jaminan lebih tinggi untuk tidak terkubur hidup-hidup.
Aku bergegas bangkit saat Kiara menyentak lenganku. Aku tidak tau sudah berapa lama longsor berlangsung dan seberapa jauh kami terbawa, namun kini kami berada di sebuah lapangan luas hampir tanpa pepohonan sama sekali. Sekeliling kami dipenuhi gundukan salju sementara langit sempurna menggelap di atas kami.
Gemuruh itu terdengar lagi. Menggema lantang di udara luas.
"Apa ini? Apa mungkin ada longsor salju lainnya?" geramku tertahan, berwaspada melihat sekeliling meski yang kulihat hanyalah hamparan salju tanpa akhir.
"Labra," Kiara memanggil, suaranya rendah nyaris seperti bisikan. "Jangan panik, tapi coba lihat ke arah jam dua."
Aku berbalik sesuai arah yang ditunjuknya. Seketika, aku paham alasan kenapa suaranya yang biasa lantang itu mengecil hampir seperti tikus yang tercekat.
Lima ratus meter di hadapan kami, berdiri Monster Kegelapan paling raksasa yang pernah kulihat. Tingginya menyejajari puncak tebing di belakangnya. Bahkan, kami tidak lebih tinggi dari pergelangan kakinya. Gemuruh yang awalnya kukira sebagai suara longsornya salju ternyata adalah suara geraman dari makhluk mutan di depanku. Aku tidak punya ide bagaimana ada Monster Kegelapan yang bisa tumbuh besar seraksasa ini.
Makhluk itu melolong sekali lagi. Di sekitar kami, bermunculan dari tanah seperti tunas pohon, selusin Monster Kegelapan lainnya bangkit dan mengepung kami. Wujud kabut mereka tampak solid, dan siraman cahaya merah dari atas membuat mereka tak ubah monster haus darah yang siap menghabisi kami.
Tunggu, cahaya dari atas?
Aku mendongak. Seketika, kudapati bahwa langit tidak lagi gelap temaram kendati matahari telah tergelincir sepenuhnya. Di atas sana, purnama sempurna memenuhi langit, menguarkan cahaya semerah darah yang menerangi seisi lapangan.
"Bloodmoon," desisku. "Bagaimana bisa ada bloodmoon di musim ini-?"
"Labra, tidakkah kau sadar?" kecam Kiara tepat di sebelahku. "Bulan purnama. Monster Kegelapan. Pegunungan Snowpine. Pelanggaran kontrak untuk pertama kalinya. Konsekuensi yang ditanggung."
Aku menyumpah, "Entitas legenda bulan sialan."
Kami mempersiapkan senjata, memasang kuda-kuda sementara makhluk di sekitar kami lompat menyerang.
Aku menerjang ke samping, berkelit dari satu serangan sekaligus menebaskan pedangku. Salah satu monster kehilangan lengannya yang langsung melebur menjadi kabut, namun makhluk itu tidak tampak terusik sedikitpun. Dengan lengannya yang tersisa, ia melayangkan cakarannya yang susah payah kutahan dengan pedangku.
Aku berkelit dan memelantingkan diri, menghindar dari jarak serang. Monster lain menyerangku dari belakang, aku berguling dan menebasnya jadi uap kabut. Satu monster tumbang, namun yang lainnya masih berdiri segar tak terluka dan siap meremukkan kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
Labrador: The Empathless Harbinger
FantasyLabrador, itulah nama yang diberikan oleh kedua orang tuanya. Ace of Spade, itulah jabatan yang dipegangnya di usia belia. The Harbinger, itulah julukan yang disematkan kerajaan padanya. Mesin Pembunuh Tanpa Empati, itulah reputasi berdarahnya yang...