22. Out of Control

62 6 0
                                    

Sebuah lonjakan energi yang teramat mendadak menguasai tubuhku. Sihir kendali Lucian, tapi intensitas yang seharusnya tidak sekuat ini. Kuduga ledakan emosinya telah membuat kekuatannya meningkat, dan dengan cepat kesadaranku kembali tenggelam.

Tubuhku kembali kebas, sementara pandanganku menggelap sehingga aku tidak bisa melihat apa yang tengah kulakukan kepada rekan-rekanku, tapi sensasinya berbeda dengan dibekap buta. Aku merasa seakan-akan ombak kegelapan menenggelamkan mataku, gelombang temaram yang mencegahku melihat melaluinya.

Sial. Kalau begini, aku sendiri tidak akan sempat selamat. Sepertinya memang lebih baik Saryu dan yang lainnya membunuhku segera.

Selarik koneksi patah-patah melesak masuk ke otakku.

“Labrador, kau masih sadar?”

Rasanya seakan-akan di kepalaku terbentuk sebuah ruang kosong, di mana suara Davin menggema mengisi sisa kesadaranku, dan citranya yang membentuk samar hanya sempat ditanggapi setengah hati oleh sisa nalarku.

“Kenapa kau masih di sini, Davin? Cepat bunuh aku sebelum aku mengamuk lebih gila lagi!” aku bersuara dengan seluruh sisa kemampuanku, tapi sepertinya itu tidak berguna.

Bisa kurasakan citra Davin menggeleng keras kepala. “Tidak, rencana juniormu itu tidak akan gagal hanya dengan membunuhmu di sini. Pertahankan kesadaranmu, Labrador. Aku bisa mencoba satu cara lain, tapi aku butuh kau untuk bersikap kooperatif.”

“Cara lain?”

“Aku bisa mengusahakan untuk mencoba balik merasukimu. Butuh banyak energi dan kau harus mau bekerja sama, tapi lebih baik begitu daripada—”

“Nah, nah. Aku tidak bisa biarkan rencanamu itu berhasil, Penyihir Archendiaz.”

Suara yang bukan milikku ataupun Davin mendadak menginterupsi, sementara citra sang penyelinap muncul secara tiba-tiba dalam ruang batin kami. Kemunculannya, yang bahkan lebih tiba-tiba daripada Drystan, sontak mentalun-talunkan peringatan akan kemunculan seseorang yang tidak diinginkan ke bawah sadarku.

Entah bagaimana Lucian mampu memasuki ruang batin antara aku dan Davin, yang semestinya tidak bisa ditembus oleh orang yang tidak tergabung dalam sambungan telepati.

Kejutan itu masih belum habis. Meski citra mereka hanya berupa siluet berdenyar dalam ruang batin di kepalaku, Lucian tidak kesulitan bergerak bebas seenaknya seakan-akan ini adalah pelataran otaknya sendiri. Belum habis kekagetan kami, Lucian sudah menyerang Davin dengan teramat cepat hingga ia tak sempat bereaksi. Davin terbanting jauh, citranya berkedip-kedip lemah.

Sepintas, ombak gelap yang menghalangi pandanganku menipis, membuatku bisa melihat keluar sekilas. Davin jatuh berlutut sementara tongkatnya tergeletak, tangannya bergerak ke leher seakan sebuah kekuatan tak kasat mata tengah mencekiknya.

Ombak kegelapan kembali menelan pandanganku, kesadaranku kembali dipancangkan pada ruang batin. Citra Davin tidak terlihat, sementara citra Lucian berdenyar lebih konkret. Warna membasuh bayangannya yang semula gelap, menjadikannya tampak lebih nyata di ruang hampa ini.

Lucian menampilkan seringai. Ia berbicara, suaranya tidak terdengar seperti telepati, seakan-akan ia memang bagian dari kepalaku dan bukan orang lain dari luar.

“Penyihir yang menarik, tapi dia hanya mengganggu momen kita. Iya kan, Labra?”

Lidahku kaku. Aku tidak bisa bicara sebagaimana aku tidak bisa bergerak. Bahkan dalam ruang batinku sendiri, aku telah dilumpuhkan.

Lucian menggeleng pelan, sorot matanya melunak kendati seringainya tidak mencerminkan keprihatinan.

“Kau sungguh mudah dikendalikan, Labra. Dan lemah. Aku tidak mengerti kenapa Lunaloor mau-maunya menambatkan diri padamu.” Barisan gigi bawahnya terlihat ketika ia mendenguskan kekehan merendahkan. “Seharusnya aku yang mendapatkan kekuatan itu. Kita semua tahu itu. Aku yang jauh lebih pantas menjadi tubuh perantara baginya. Bagi Entitas sekuat dan seberkuasa Lunaloor.”

Labrador: The Empathless HarbingerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang