20. Ultimate Battle

74 9 0
                                    

Sisa-sisa penglihatan memori itu mengabur lenyap dari mataku, mengembalikan pandanganku pada kenyataan: Lucian yang berdiri tegak di hadapanku, sementara raut puas menghiasi wajahnya bersama aura sihir ungu yang berdenyar dalam tubuhnya.

Kaku masih menggelitik tulang-tulangku, tapi aku menegakkan diri dengan susah payah dan menggenggam pedangku lebih erat.

“Kau … bergabung … dengan ... Herobrine,” ucapku patah-patah seakan masih ada beban seberat timbal menggelayut di pundakku. “Kau tahu apa yang telah kau lakukan? Kau baru saja memicu perang!”

Lucian mengangkat bahu, tidak tampak terganggu. “Perang, kehancuran, siapa peduli? Peradaban manusia memang pasti hancur pada akhirnya,” tukasnya dengan segaris seringai menertawakan. “Lagipula, sejak kapan seorang Labrador yang tidak punya empati mendadak bersikap mulia dan mau-maunya berdiri membela pihak yang kalah?”

Selagi ia mengatakan itu, lapangan bergemuruh dan dunia berputar di sekeliling kami. Kepalaku terasa mual karena disorientasi, sementara pemandangan tempat kami berpijak berganti menjadi sebuah tempat yang tidak asing.

“Lapangan latihan guild?” desisku lirih.

Lucian, yang kini terpisah sepuluh meter di hadapanku, memberikan tatapan tajam yang terasa meremehkan. “Terkejut, Kak Labra? Kau mengatakan aku harus memperkuat diri sebelum menantangmu untuk bertarung ulang. Selama tujuh tahun aku berlatih, aku sudah mahir dalam segala hal kecuali kekuatan. Dan kini, dengan kekuatan Herobrine di sisiku, kau tidak akan bisa mengalahkanku!”

Oleh aba-aba kalimat itu, Lucian menerjang maju dan menghunus pedangnya. Aku bergegas memasang sikap defensif, dentang nyaring mengudara saat kedua bilah pedang kami berbenturan.

“Kau tidak mungkin gila dengan membeberkan langsung pertarungan ini pada orang-orang guild, kan?” timpalku seraya menebas serangannya yang bertubi-tubi. “Bagaimana reaksi ayahmu nantinya?”

“Oh, tenang saja,” balas Lucian tanpa mengendurkan serangannya, “kita tidak benar-benar ada di sini. Aku hanya mereplikasi lapangan kita dan mewujudkannya, tapi bukan meneleportasi. Bagaimanapun, aku juga tidak ingin rencanaku dibuat berantakan oleh orang-orang bodoh itu.”

Satu lagi tebasanku berhasil membuatnya terdorong tiga langkah. “Rencanamu?” aku mengulangi.

Lucian mengangkat wajahnya, yang masih tampak baik-baik saja meski sedikit ternodai debu. “Kau tidak akan bisa mencegahnya terjadi, Kak Labra. Aku akan mengalahkanmu dan menuntaskan rencanaku, sementara kawan-kawanmu dari kerajaan bodoh itu tidak akan bisa membantumu!”

Tersadar oleh kalimat itu, aku menelaah sekelilingku sekali lagi. Sihir replikasi Lucian yang luar biasa membuatku benar-benar merasa seakan aku berada di lapangan guild, meski beberapa detail masih terasa surreal. Aku tidak tahu apakah sihir ini termasuk dalam ranah ilusi atau ruang, tapi yang jelas aku menyadari satu hal: aku berada di lapisan realitas yang berbeda, di luar jangkauan teman-temanku maupun yang lainnya. Pertarungan ini secara resmi merupakan pertarungan tertutup.

“Bukan waktunya melamun, Kak Labra!”

Sialan!

Aku menangkis serangan Lucian tepat sebelum bilah pedangnya mengiris leherku. Gara-gara memikirkan nasib teman-temanku, aku hampir tidak melihat pergerakan Lucian yang demikian tangkas. Sejak kapan pula Lucian berkembang sejauh ini?

“Kau mengkhawatirkan mereka, huh?” Lucian melayangkan satu lagi tebasan diiringi seringai menyindir. “Lucu sekali! Bagaimana seorang Labrador yang tidak punya empati akan memedulikan keadaan rekan-rekannya? Sadarlah masalahmu kali ini adalah aku, Kak Labra!”

Labrador: The Empathless HarbingerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang