Kami berhasil melewati hutan, sudah semakin dekat dengan kaki gunung. Sekaligus semakin jauh dari kampung halaman kami yang kini tengah diporak-porandakan. Apapun alasan hal itu bisa terjadi, aku percaya semuanya ada di dalam gulungan di tangan Kiara yang memimpin di depan.
Begitu memasuki sebuah gua kecil tak jauh dari posisi kami, suasana lengang seketika menyelimuti. Suara-suara samar pertarungan tidak lagi terdengar, satu-satunya suara yang ada hanyalah napas kami yang masih tersengal setelah menuruni gunung lewat jalur hutan.
“Harusnya di sini sudah aman … kan?” tanyaku ragu. Kiara melihat sekeliling dengan waspada sebelum mengangguk, duduk menyandar di sisi gua sementara aku mengikuti. Ia membuka gulungan itu, membentangkannya perlahan hingga kami bisa melihat apa yang tersimpan di dalam lembaran antik itu.
Gulungan selebar hampir satu meter itu memuat tulisan-tulisan, beberapa ilustrasi kecil yang telah pudar, juga lambang-lambang yang tidak pernah kulihat di sepanjang perjalananku mempelajari sihir. Tulisan-tulisan itu pun bukan abjad biasa, melainkan aksara tradisional Pegunungan Snowpine. Untungnya, aku dan Kiara sudah cukup mahir membaca tulisan seperti ini sehingga Kiara dengan cepat mengeja lafal yang tertulis di hadapannya.
“Di masa lalu, semua orang percaya akan adanya sebuah Entitas.” Kiara memulai, “Entitas itulah yang selama ini memberkati mereka, selayaknya dewa kecil. Di setiap malam purnama, kekuatan Entitas itu meningkat, memberkati semua orang dengan keberkahan purnama.”
“Legenda entitas dewa bulan aneh,” celetukku, “kenapa Ayah dan Ibu tidak pernah mengatakan apa-apa soal ini?”
“Setiap beberapa dekade sekali, sang Entitas memberikan sebagian kekuatannya pada manusia yang ia pilih. Di purnama penuh musim itu, terlahirlah anak manusia yang menerima kekuatannya. Pertandanya adalah, pupil berbentuk bintang dan warna merah pada rambut.”
Kami saling bertatapan. “Maksudnya adalah seperti kita,” desisku. “Kia, apa menurutmu—?”
Kiara memberikan isyarat untuk diam sementara dirinya terus membaca. “Mereka yang diberkati kekuatan sang Entitas akan memiliki kemampuan yang tak tertahankan. Di usia kedua belas, mereka harus bisa menguasai kekuatan itu dan menunjukkan bahwa mereka pantas menyandangnya. Jika tidak, cahaya purnama akan mengembalikan mereka kepada pemiliknya.”
Aku terlalu syok sampai tak mampu berucap.
“Jika mereka tidak dikembalikan sampai batas waktu, amarah sang Entitas akan melenyapkan segalanya. Cahaya purnama akan memanggil para Monster Kegelapan, menghabisi mereka yang berani menentang. ”
Seketika aku merasa purnama penuh di langit luar sana tidak lagi seindah yang kulihat selama dua belas tahun. “Itu gila,” ujarku begitu berhasil bersuara. “Pantas Ayah mati-matian melatih kita belakangan ini. Apa kalau begitu, sekarang kita sudah membuat si dewa bulan ini marah karena tidak menumbalkan diri? Hei, memangnya tidak ada cara lagi selain menyerah?”
Kiara melanjutkan berkonsentrasi pada gulungan di tangannya. “Ada cara lain untuk mereka bisa menguasai kekuatan itu,” ia mengeja.
“Cara lain?”
“Mereka yang tidak sanggup menguasai kekuatan sang Entitas adalah mereka yang tidak pantas. Untuk itu, sang Entitas sendiri yang akan memantaskan mereka. Mintalah kemurahan hatinya, biarkan ia mengambil hal terpenting dalam hidupmu, maka kau akan pantas menyandang kekuatan sejati sang Entitas. Menjadi petarung terkuat sepanjang sejarah.”
Kiara menutup gulungannya. Kami bertatapan untuk beberapa waktu, kentara memikirkan hal yang sama.
“Kau yakin kita akan melakukan hal itu?”
Kiara menggeleng kuat-kuat, tatapannya serius. “Itu mustahil. Bahkan kalaupun kita melakukannya sekarang, semuanya sudah telanjur. Para Monster Kegelapan sudah memporak-porandakan semuanya, menghabisi siapapun yang tersisa. Lagipula, konsekuensi pastinya tidak disebutkan. Itu berarti, apapun itu konsekuensi yang dimaksud, pastilah sesuatu yang parah. Bagaimana kalau dia mengambil tanganmu, misalnya? Atau salah satu di antara kita, atau apapun itu yang lebih parah. Untuk sekarang, kita sebaiknya main aman saja. Lagipula aku tidak sudi menyerahkan masa depanku pada entitas bulan tidak jelas yang mudah tantrum.”
Aku terdiam, memerhatikan jemari Kiara yang menggenggam gulungan itu lebih kuat. Aku yakin kalau bukan karena itu gulungan penting dan kami diajarkan sejak kecil untuk menghormati buku dan sejenisnya, dia pasti sudah mencampakkan gulungan itu mentah-mentah dan menginjak-injaknya sampai hancur.
“Kalau begitu, sekarang apa rencananya?” tanyaku.
“Bertahan dulu dengan rencana Ayah. Kita kabur, turun gunung, cari pertolongan atau apapun itu. Kita harus bertahan hidup, setidaknya hargailah pengorbanan mereka.”
Kiara mengucapkan kalimat terakhirnya dengan nada menggantung, tatapannya sendu.
-
Sisa malam kami habiskan untuk beristirahat di gua itu. Waktu yang tersisa sudah tidak banyak, jadi begitu bangun kami bergegas keluar dan melanjutkan perjalanan. Menuruni pegunungan bersalju di musim seperti ini bukanlah pekerjaan mudah. Bahkan ketika kami pertama kali turun ke pemukiman luar bersama Ayah tiga tahun lalu, butuh waktu berhari-hari sekadar untuk naik-turun gunung.
Kali ini, hanya berdua dengan Kiara, aku tidak bisa menjamin perjalanan kami akan lebih lancar. Apalagi ditemani kecemasan akan kejaran Monster Kegelapan yang sama sekali tidak membantu banyak.
“Lewat jalur sini. Agak sulit dan memutar, tapi setidaknya ancaman longsor salju lebih kecil. Akan konyol kalau kita mati gara-gara longsor dan bukannya Monster Kegelapan.” Kiara mengibaskan tangannya, memberikan petunjuk arah.
“Bagaimana kau bisa tau?” tanyaku sembari mengikuti di belakang. Tidak ada tanda-tanda Monster Kegelapan mengikuti, mungkin mereka memang tidak bisa muncul di siang hari. Syukurlah kalau begitu, kuharap.
Kiara terpisah lima langkah di depan, menyabetkan belatinya untuk membuka jalan. “Bukan cuma kau yang punya tugas berburu keluar, Labra. Kau mungkin jarang memerhatikan jalan, tapi aku hapal sebagian besar jalur di sekitar sini. Arah sana? Di kawasan itu memang ada banyak kambing gunung, tapi itu juga berarti ada lebih banyak pemangsa buas lainnya.” jelasnya menunjuk arah barat daya. Aku tidak menyanggah.
Meski hanya selisih usia beberapa menit, Kiara lebih teliti dan punya kecerdasan tinggi dibandingkan denganku yang agak teledor dan lebih fokus pada kemampuan tangan. Mungkin aku bagus dalam berpedang dan sihir dasar, tapi Kiara dengan wawasan luas dan ketenangannya adalah apa yang dibutuhkan penerus generasi. Kadang aku berpikir apa aku cuma remahan yang tecipta dari sisa serpihan kemampuan fisik yang tidak dibutuhkan Kiara, karena nyatanya kemampuan bertarung kakakku itu juga tidak bisa diremehkan.
Aku mulai berpikir, jika hanya salah satu dari kami yang bisa selamat kali ini, maka itu harus Kiara. Dia punya lebih banyak keterampilan untuk menjamin keberlangsungan hidupnya dan menyambung tali generasi.
Samar, aku meraba gagang pedang di pinggangku. Ya, demi Kiara, aku harus sanggup berkorban apapun. Hanya dia yang pantas untuk tetap hidup ketimbang aku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Labrador: The Empathless Harbinger
FantasyLabrador, itulah nama yang diberikan oleh kedua orang tuanya. Ace of Spade, itulah jabatan yang dipegangnya di usia belia. The Harbinger, itulah julukan yang disematkan kerajaan padanya. Mesin Pembunuh Tanpa Empati, itulah reputasi berdarahnya yang...