13. An Eerie Reunion

75 11 1
                                    

Davin mengayunkan tongkatnya, menciptakan medan pelindung yang memisahkan kami dengan Drystan. "Bagaimana mungkin kau bisa lepas?" Davin berseru, raut kerasnya waspada. "Kau seharusnya ikut terkirim ke dunia bawah bersama makhluk itu!"

Drystan masih berdiri di tempatnya, terkekeh nyaring-sepertinya dia adalah pengkekeh handal. "Kau perlu belajar lagi penggunaan kata seharusnya, Archendiaz. Mantramu hanya mengikat makhluk kutukan, dan meski lingkaranmu akan ikut membawa serta semua yang berada dalam jangkauannya, aku tidak tertambat ke dalam mantra itu sebagaimana tenggiling itu tertambat. Sayang sekali, padahal kukira kau sudah tahu cara yang benar untuk menangani makhluk-makhluk yang terpanggil olehmu sendiri."

Davin mengeratkan cengkeramannya kuat sekali hingga aku hampir bisa melihat tongkatnya dijalari retak. "Sampai kapan kau mau menyalahkanku gara-gara kejadian itu, Drystan!? Bukan aku yang memanggil mereka, tapi orang tuaku! Kau semestinya tahu itu!"

"Tapi kau yang bertanggung jawab membuat mereka lepas, kau tidak ingat?" Asap sihir Drystan membumbung, menguasai sekitar. Aku sudah bisa meredam rasa sakit di punggungku, tapi nyamuk di kejauhan sekalipun bisa melihat kalau kondisiku sudah sangat memburuk.

Davin bergerak ke depanku, seakan hendak menghalangi Drystan dari mencapaiku. Tongkatnya diacungkan dengan sihir yang semakin terang di ujungnya. Sebuah pemikiran sekilas terbesit di benakku, jika Davin benar-benar melindungiku seandainya Drystan melemparkan proyektil apapun itu, paling banter dia hanya bisa mencegahnya menikam jantungku tapi tidak sanggup mencegah terpenggalnya kepalaku gara-gara tinggi badannya yang tidak cukup mumpuni untuk menghalangiku seutuhnya.

"Kau mengincar Labrador," Davin menyimpulkan. "Mencoba mencuci otaknya dan membuatnya berpaling menjadi bagian dari Herobrine. Kau tahu kan kau sudah salah perhitungan?"

Drystan hanya tertawa pelan. "Salah perhitungan? Katakan itu pada dirimu sendiri, Dav."

Kemudian, seperti bom asap, sebuah ledakan cahaya berdentum di hadapan kami, membuatku secara refleks menghalangi pandangan dengan sebelah lengan demi mencegah silau. Aku sempat melihat sepintas Davin berusaha mengerahkan sihirnya untuk menghalangi ledakan itu, namun kemampuannya tidak cukup mumpuni.

Sontak, pemandangan di sekitar kami berubah. Bukan lagi hutan lebat di pedalaman Olvia, melainkan padang rumput luas dengan cahaya yang agak terlalu terang. Tidak ada orang lain selain aku dan Davin, yang membuat ini semua jadi lebih mencurigakan.

"Tempat apa ini?" tanyaku lugas, sementara Davin menegang kaku begitu mengamati sekitar. Aku bisa mendengarnya bergumam sendiri, mengulang-ulang kalimat lirih yang terdengar seperti ini tidak mungkin atau dasar tetangga keparat.

Aku mengetukkan pedangku ke tanah, mengambil perhatian Davin sekaligus menegaskan ulang pertanyanku barusan.

"Drystan adalah pengendali ruang," Davin mulai menjelaskan. "Aku tidak terlalu paham seluas apa jangkauan kemampuannya, tapi kira-kira seperti itu. Mungkin bergabung dengan pasukan Herobrine memberinya kekuatan tambahan. Sekarang ini, dia memasukkan kita berdua ke dalam dimensi miliknya, tempat dimana dia praktis bisa memunculkan ilusi atau apapun yang dia inginkan untuk memengaruhi kita sesuai kehendaknya."

Gemerisik tidak wajar dari rerumputan mencegah lidahku mengeluarkan kalimat. Kami berbalik, dan napasku tercekat begitu mendapati siapa yang tengah mendekat. Di sekeliling kami, berdiri total tujuh orang yang segera kuamati dengan seksama.

Seorang gadis berambut sepanjang punggung sewarna bunga sakura dengan mata sendu sewarna lavender.

Seorang anak laki-laki berambut hijau gelap hampir hitam sepanjang tengkuk dengan mata obsidian tajam.

Seorang gadis berambut cokelat keabu-abuan yang diikat rendah dan memiliki iris madu cemerlang.

Seorang anak laki-laki berambut secokelat susu berpotongan pendek berantakan dan iris berwarna karamel.

Seorang anak perempuan berambut marun dikepang dua dan iris lebar sewarna daun.

Seorang anak laki-laki dengan rambut sewarna api yang mencuat berantakan dan iris kuning terang layaknya cahaya lentera.

Seorang gadis berambut biru gelap seperti langit malam sebatas bahu dan mata kelam sebiru es.

Wujud mereka berpendar setengah tembus pandang, dengan raut suram yang seragam. Rumput bergerak di bawah kaki mereka bagaikan tertiup angin. Davin menatap mereka dengan waswas, seakan dirinya pernah memiliki dosa atas para arwah ini.

Aku beringsut mendekatinya, berdesis pelan. "Katakan padaku bahwa mereka semua hanya ilusi."

Davin masih terpaku di tempat, namun aku bisa melihat genggamannya bergetar. "Akan lebih bagus kalau bisa begitu," gumamnya pelan. "Sayangnya, tidak. Aku bisa merasakan perbedaan dari ilusi dan arwah yang sengaja dipanggil. Bagaimanapun ... ini tidak terasa seperti ilusi biasa."

"Maksudmu, mantan tetanggamu itu bisa memanggil arwah dan mewujudkan mereka di dimensi ruangnya sendiri?" sambarku. "Dan kau tidak punya kuasa untuk melakukan sesuatu?"

"Davin."

Aku tidak tahu siapa yang berbicara, tapi panggilan itu membuat bahu Davin kontan menegang. Sementara itu, suara-suara lainnya yang seirama saling menimpali, memenuhi udara.

"Kau yang menyebabkan kami menjadi seperti ini."

"Jangan kabur, Davin."

"Kau meninggalkan kami."

"Kau membiarkan mereka membunuh kami."

"Kau harus menanggung akibatnya juga, Archendiaz."

Tatapanku semakin terpancang pada Davin di sebelahku. Bisa kulihat dia berusaha membuat lingkaran pelindung di sekitar kami, namun sebuah kekuatan tak kasatmata menendangnya jauh hingga terbanting di belakang para arwah, tongkatnya berkelontangan di tanah sementara ia memegangi lehernya seolah kekuatan tak kasatmata itu mencekiknya.

Di antara napasnya yang tercekat, Davin masih berusaha mengeluarkan suaranya. "Mereka-mengincarmu, Labra!" rautnya kepayahan, warna kebiruan samar mulai mewarnai lehernya. "Apapun yang mereka doktrinkan padamu, ingat bahwa itu bukan kejadian sebenarnya!"

Kemudian kekuatan tak kasatmata itu menyeret Davin menjauh, sementara sesuatu menyergap leherku dari belakang bagaikan rantai. Sebelum aku sempat bereaksi, kekuatan tak kasatmata serupa juga mencengkeram kedua pergelangan tanganku, membekuknya di punggungku dan menjejak punggungku hingga rebah dengan kaki tertekuk. Pedangku yang terlepas dari genggaman berdentang di tanah, sementara kesadaranku meregang seiring para arwah itu bergerak mendekatiku. Aku tidak bisa merasakan tubuhku, selagi penglihatanku dipenuhi asap putih nan memuakkan.

Kemudian, aku terlempar ke dalam sebuah memori masa lalu.

Labrador: The Empathless HarbingerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang