8. A Hollow Moon, A Lightsome Sun

80 13 3
                                    

“Seharusnya kau tidak perlu serepot ini, Tuan.”

Saryu membawaku ke sebuah kedai tidak jauh dari kawasan istana, yang kuingat sudah dinobatkan Saryu sebagai kedai favoritnya. Sejak tadi aku sudah berusaha menolak ajakannya, namun ia menarikku sama kerasnya. Atasanku satu ini bisa menjadi sangat keras kepala kalau dia serius.

Ia terkekeh, menyodorkan satu piring penuh potongan martabak kotak—menu kesukaannya. Aroma terigu yang dipanggang menyatu apik dengan aroma cokelat dan keju sebagai pelengkap. “Siapa bilang kau merepotkanku? Kita ini teman, bukan? Sudah sewajarnya seorang teman peduli satu sama lain.”

Peduli.

“Teman?” aku mengulangi, “kau kesatria, Tuan Saryu. Hubungan kita atasan-bawahan. Aku bukan temanmu.”

Bisa kulihat binar cerah di wajahnya meletup padam, seiring rautnya yang mengerut jerih. “Astaga, kau kaku sekali kalau begitu,” ia berujar pelan saat rautnya kembali normal, satu tangannya menepuk-nepuk pundakku. “Sayangnya, semua orang yang kukenal adalah temanku! Baik, kecuali Herobrine dan orang-orang yang jahat—kalau mereka, itu musuhku. Tapi, kau anak buahku, oke? Jadi, kita teman!”

Orang-orang jahat.

“Jadi, bagaimana menurutmu?” Saryu kembali bertanya—dengan nada agak terlalu antusias. Aku terpaksa keluar dari kolam pemikiranku demi menumpukan balik perhatian padanya. “Menurutku … apanya?”

Dengan senang hati ia melanjutkan, “Yeah, kau sudah berada dalam pasukan Royal Knights selama beberapa bulan, kan? Bagaimana menurutmu soal teman-teman setimmu? Sudah seberapa lancar perkembangan interaksi di antara kalian? Apa kalian—"

“Langsung saja ke intinya, Tuan,” aku memotong. “Anda tentunya sudah mendengar laporan Henry soal kami, bahwa aku dan Davin, King of Spade, sama sekali tidak akur dan sering bertengkar. Lalu Anda di sini hendak menanyakan padaku soal masalah yang sebenarnya di antara kami. Tidak usah bertele-tele kalau itulah yang sejatinya hendak Anda tanyakan.”

Saryu terdiam sejenak, namun kemudian kembali meloloskan kekehannya. “Hah, baiklah. Awalnya aku mau pelan-pelan menanyakannya, tapi karena kau sudah buka kartu duluan, baiklah kita langsung saja.” Ia menatapku dengan raut serius.

“Aku sudah bicara pada Davin dan menurutnya, kau itu egois dan terlalu individualis, tidak bisa bekerja sama. Dia juga bilang kau tidak pernah memedulikan dampak yang ditimbulkan pada masyarakat awam, dan hanya peduli dengan apa yang diperintahkan misi. Jadi sekarang, bagaimana menurutmu? Kau punya sanggahan?”

Aku tidak langsung menjawab. Ingatanku sempat melayang kembali ke masa tadi siang, ketika Davin mencegatku dan mengomeliku. Keegoisan kosongmu kelak akan membunuhmu. Hah, seolah dia tahu saja.

“Yang dia katakan benar,” aku berucap, “Aku memang tidak pernah memikirkan dampak apa yang mungkin kutimbulkan kepada selain musuh. Aku tidak bisa bekerja sama, memang, karena aku yang tidak punya empati sama saja dengan tidak punya fondasi untuk berkolega. Bahkan seharusnya, aku tidak diizinkan berada di sini. Tidak jika kalian tahu apa yang pernah kulakukan sebelumnya.”

Saryu menggarisbawahi satu kata. “Tidak punya empati … sama sekali, maksudmu?”

“Secara harfiah,” aku mengiyakan. “Empatiku sudah hilang, bukan karena aku tidak mau menggunakannya, tapi aku memang sudah tidak memilikinya lagi, semenjak tujuh tahun lalu.”

Saryu diam. Aku tahu dari tatapannya kalau dia menungguku untuk menceritakannya, bahkan tatapan seriusnya seolah memaksa. Tapi, aku ragu. Kalau mereka sampai tahu masalah ini—

“Ceritakan saja, Labra. Tidak perlu bimbang,” ia menguatkan.

Aku menggeleng singkat. “Kalau Anda atau salah satu orang istana mengetahuinya, itu berarti kalian harus menyingkirkanku. Anda benar-benar ingin mengetahuinya?”

Labrador: The Empathless HarbingerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang