25. Last Blood of Egoism

58 7 1
                                    

Rantai-rantai keemasan melesat keluar dari tanah dan membelit Lucian sebelum dia sempat menghindar, mencegahnya bergerak sedikitpun. Di belakangnya, Davin memancangkan tongkatnya ke tanah, tatapannya berkilat tajam.

“Bukan kau yang akan membunuhnya, Bocah Gagak,” ia menggeram dengan napas menderu, lebih karena benci ketimbang lelah. “Aku yang akan membunuhnya, setelah membunuhmu di sini sekarang juga.”

Aku tidak tahu harus merutuk atau berterima kasih. Tapi, tidak bisa dimungkiri bahwa berkat sihirnya barusan nyawaku bisa terselamatkan. Meski, keberuntunganku sepertinya takkan bertahan lebih lama lagi.

Dalam kekangan rantai emas, Lucian terkekeh seakan bukan dirinya yang sedang terancam mati. “Begitu pikirmu, Penyihir Archendiaz? Sayangnya, dendam kosongmu tidak akan sempat mendapat tempat untuk kaubalaskan sekarang ini.”

Dari tanah yang dipijaknya, sulur-sulur sihir ungu berlapis perak menjalar, ganti meremukkan rantai emas hingga hancur. Tidak berhenti di situ, Lucian memutar poros kakinya hingga posisinya berbalik penuh, menghunus pedangnya langsung ke arah Davin dalam kecepatan yang nyaris tidak bisa diikuti mataku. Refleks aku menggapai pedang, namun jarakku tidak cukup terpangkas untuk mencegah Lucian. Davin di sana juga semestinya tidak akan sempat menghindar.

Di waktu yang tidak tepat ini, aku merasakan getaran samar di tengkukku, menjalarkan bisikan pelan ke relung otakku, seakan menjeda waktu untukku memberikannya atensi.

“Kau tidak benar-benar berpihak pada kerajaan, kau tahu. Kau bertarung hanya karena itu tugasmu. Membosankan. Menyedihkan.”

Bisikan bodoh. Memasuki kepalaku susah-payah hanya untuk mengatakan itu?

Baiklah, dia cukup berhasil membuat perhatianku teralih.

“Kenapa tidak memperjuangkan apa yang layak untukmu? Kerajaan hanya memanfaatkanmu. Teman-temanmu tidak sungguh-sungguh peduli padamu. Kau seharusnya bisa menggapai yang lebih dari ini, menuai apa yang pantas untuk kau dapatkan.”

Pijakanku goyah. Kalimat itu, entah bagaimana aku mendadak termenung mendengarnya.

“Kau membenci mereka, bukan?”

Sebelum aku bisa menyadarinya, tanganku bergerak menebaskan pedang. Kakiku menapak maju, sementara arah angin mendadak berubah ganjil.

Ah.

Aku terlambat.

Dalam sepersekian detik yang bagaikan selamanya, aku berganti tempat. Kakiku memijak tanah yang gembur bekas dialiri sulur sihir, sementara darah kering menggenanginya. Sisa-sisa rantai emas berserakan di kakiku, sementara aku bisa melihat wajah pucat pemiliknya dari jarak kurang dari dua meter.

Lucian baru saja menukar posisiku dengan posisi dirinya.

Dengan momentum yang tepat, pedangku terayun. Menimbulkan suara khas daging yang terpotong dan darah yang tepercik. Dan ini bukan ilusi atau apapun asumsi positif yang mungkin sempat terbit.

Aku baru saja memburaikan jantung dan isi perut Davin, membunuh seketika sang King of Spade. Darah segarnya membasahi sekitar, tak terkecuali pedangku maupun sekujur tubuh bagian depanku.

“Labrador!”

Suara yang kukenali memanggil namaku, namun seruannya tidak lagi terasa penting. Aku juga tidak merasakan apa-apa yang berarti selepas membunuh Davin, bahkan ketika aku menatap lagi mayatnya yang tergeletak. Aku hanya merasa gamang, seakan ini semua hanyalah rutinitas tidak berarti. Aku harus melakukan aktivitas yang berbeda, yang membuat bagian kosong di dadaku ini terisi oleh sesuatu yang berarti.

Dengan pandangan yang berbayang dan telinga yang diisi kalimat-kalimat bisikan tadi, aku berbalik perlahan. Leherku terasa seberat es, tapi aku berhasil memutarnya dan menghadapkanku pada sosok yang tadi menyerukan namaku. Sosok berlapis sihir hitam murni yang demikian menggoda naluri liarku, kendati bahasa tubuhnya yang dibekukan ngeri itu sama sekali tidak cocok dengan kekuatan ganas dalam aliran sihirnya.

Labrador: The Empathless HarbingerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang