“Kenapa aku harus satu tim denganmu, sih?”
Aku berbalik demi mendengar komentar barusan. Kami sedang mengendap di belakang tembok sebuah bangunan tua di tengah hutan ketika tahu-tahu Davin menceletuk seperti itu. Saat aku menoleh menatapnya, Davin hanya memalingkan muka ke arah lain dan lebih berfokus pada tongkatnya.
“Kau bertanya padaku?” aku menegakkan posisi. “Tanyakan hal seperti itu pada Saryu atau si tua Raja GM. Bukan aku yang berhak mengatur pembagian tim.”
Geraman rendah dari Davin menunjukkan kalau dia memang tidak bermaksud menanyakannya, dianya saja yang memang tukang protes. “Aku tahu itu, bocah anjing terong,” dia bergumam.
“Kalau begitu, tidak usah menanyakannya terus. Dasar jidat anak ayam.”
Pekik tertahan bocah itu jelas menunjukkan ketidakterimaannya atas julukan baru dariku, namun suara kepakan ringan kontan meredam protesnya. Seekor burung nuri setengah tembus pandang muncul, hinggap di tangan Davin yang menatapnya serius, sebelum kemudian lebur menjadi kabut sihir.
Kejernihan fokus kembali terpancar dari tatapan Davin. “Baik, Labra. Biar kuingatkan sekali lagi, bangunan ini adalah salah satu tempat terlantar yang sempat disinggahi anak buah Herobrine. Misi kita adalah menyelinap masuk, mencari informasi mengenai kondisi terkini, lalu pergi secara diam-diam. Kau paham itu?”
“Singkatnya, ini adalah misi pembobolan dan perampokan,” ujarku singkat. “Kenapa kau menatapku seperti itu?”
Memang benar tatapan Davin sudah dijernihkan oleh fokus akan misi, tapi aku masih melihat bara kecurigaan di matanya, seakan dia sudah belajar kalau aku adalah pembawa sial dan kini tengah menghitung bagaimana aku akan membuat harinya bertambah buruk.
“Kau bertanya kenapa?” ia menyahut, “Tentu saja karena kau yang selalu meledak akan jadi merepotkan kalau sampai membuat kita ketahuan! Pokoknya, kutegaskan saja, kau tidak boleh lepas kendali dan meledakkan seisi bangunan hanya gara-gara entah apapun itu pemicu di dalam. Kita harus bergerak diam-diam tanpa ketahuan, bukan menyerang langsung secara terbuka.”
Sebelum aku sempat merespons, Davin sudah merayap maju menyusuri tembok, membuatku tidak punya pilihan selain mengikutinya.
-
Yang Davin sebut bergerak diam-diam tanpa ketahuan adalah menyelinap masuk melalui pintu depan.
Aku tidak bisa menyalahkannya, sih. Bangunan setengah bobrok ini tidak punya pintu belakang sementara jendelanya tidak bisa dibuka dari luar, dan karena aku dilarang memicu keributan dengan memecahkan setiap kaca jendela, satu-satunya jalan masuk adalah pintu depan. Untungnya pintu itu tidak memiliki kunci memadai dan seisi bangunan tampaknya sedang sepi.
“Kau yakin ini tempatnya?” tanyaku memastikan.
Davin merapal sedikit mantra dan selapis sihir berdenyar melapisi kami. “Henry dan Mitha akan memastikan kalau tempat ini memang tujuan kita. Tidak ada jejak pelarian yang menunjukkan bangunan ini sudah ditinggalkan, kita harus tetap waspada,” dia menoleh dan lapisan sihir tadi menipis hingga hampir tak terlihat, namun aku masih merasakan sihir yang menyelubungiku. “Dengan mantra itu, harusnya aura sihir kita akan tersamarkan. Kita tidak boleh ambil risiko dan membuat siapapun itu mengetahui keberadaan kita. Sekarang, ayo jalan.”
Kami berusaha sebaik mungkin menyusuri setiap dinding secara diam-diam, namun waktu yang masih siang dan cuaca yang cerah membuat usaha ini agak sulit dilakukan. Kami sudah berada di lantai dua dan menatap barisan lorong dengan banyak pintu di setiap sisinya.
Kutatap Davin yang masih berwaspada. “Lebih baik kita berpencar. Kau periksa di sana, aku periksa yang ini.”
“Tidak, tunggu dulu. Ikuti aku.” Davin sudah menarik lenganku memasuki satu ruangan sebelum aku sempat beranjak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Labrador: The Empathless Harbinger
FantasyLabrador, itulah nama yang diberikan oleh kedua orang tuanya. Ace of Spade, itulah jabatan yang dipegangnya di usia belia. The Harbinger, itulah julukan yang disematkan kerajaan padanya. Mesin Pembunuh Tanpa Empati, itulah reputasi berdarahnya yang...