17. Flipped Viewpoint

67 5 0
                                    

Kiara tersenyum penuh arti sembari menatapku lekat. “Sekarang, kau percaya?”

Ia melepaskan dekapannya dari pundakku. Aku mengangkat kepala, menatapnya gamang. Genggamanku melemas sementara pedang di tanganku mendadak terasa berat.

“Tapi … bagaimana kau bisa selamat? Aku jelas melihat sendiri monster itu meremukkanmu dengan tangannya. Dan, apa yang kau lakukan di tempat ini? Di markas bawahan Herobrine ini?”

“Itu cerita yang panjang,” balasnya. “Malam itu, aku juga mengira aku sudah mati. Tapi kemudian aku membuka mata dan terbangun di sebuah ruangan. Seseorang … aku tidak ingat siapa, tapi yang jelas ada yang menyelamatkanku dan merawatku. Aku koma selama sekitar tiga bulan, lalu setelah memulihkan diri, aku berusaha mencarimu. Tapi aku tidak berhasil menemukanmu.”

“Aku bergabung dengan sebuah guild,” jelasku. “Tapi, aku jelas-jelas melihat kondisi terakhirmu benar-benar buruk. Mantra penyembuhan apa yang bisa memperbaiki kerusakan separah itu?”

Kiara menggeleng pelan. “Aku juga tidak tahu. Butuh waktu yang cukup lama untukku pulih sepenuhnya, dan setelah itu pun aku berkelana mencarimu tanpa hasil. Tadi kau bilang kau bergabung dengan sebuah guild?”

“Sebelum ini, ya. Sekarang aku jadi pasukan kerajaan. Bawahan Kesatria Legendaris. Kami sedang dalam misi menyelidiki aktivitas sihir ganjil dari tempat ini, yang mungkin saja mengarah pada bawahan Herobrine atau sesuatu semacam itu. Kenapa kau malah ada di sini?”

Sudut mata Kiara berkedut pelan. “Kerajaan?”

Aku menatapnya. “Ya. Olvia, salah satu dari Empat Kerajaan Besar. Ada … masalah?”

Kiara berjalan bolak-balik, menyentuh dahinya sembari bergumam pelan. “Oh, tidak. Jangan bilang kau sama sekali belum pernah dengar soal mereka?” ia menghentikan langkahnya dan menatapku hati-hati. “Labra, apa saja yang mereka beritahu padamu sampai-sampai kau mau mengabdi pada mereka?”

Kepanikan liar mulai terpantik di dadaku, tapi aku tetap mempertahankan kontak mata. “Kenapa? Ada sesuatu? Apa yang kau coba katakan sebenarnya?”

Kiara berdiri tegak, menatapku lamat-lamat. “Labrador, tidakkah kau sadar? Yang menyebabkan terjadinya serangan Monster Kegelapan tujuh tahun lalu, yang membuat Ayah, Ibu, dan seluruh penduduk Snowpine terbunuh, adalah pihak kerajaan!”

Jantungku berhenti untuk sesaat. “Ba—bagaimana bisa? Bukan si legenda itu—”

“Tidak, Labra.” Kiara mendekat satu langkah, menaruh tangannya di pundakku. Bahkan setelah tujuh tahun, Kiara masih memiliki tinggi yang persis denganku. “Aku tidak akan bilang legenda itu salah. Memang entitas itu benar-benar ada, yang memaksa kita untuk menyerahkan diri atau kita dihancurkan. Tapi, Monster Kegelapan bukan pekerjaannya. Kau tidak pernah berpikir, bahwa mustahil makhluk kutukan dalam wujud abnormal itu bisa terbentuk alami? Monster itu adalah akibat pihak kerajaan, percobaan sihir yang gagal dan dibuang menjadi mutan liar. Kebenaran aslinya disembunyikan dari pandangan masyarakat, tentu saja. Tapi, itulah kebenaran sejatinya. Yang merupakan pekerjaan si Entitas Legenda adalah bloodmoon, yang menyebabkan insting liar para monster terpacu sehingga mereka mengganas dan bertambah kuat. Tapi, para monster itu sendiri adalah akibat pihak kerajaan.”

Kiara mendekat selangkah lagi, memancangkan tatapan seriusnya jauh ke dalam pandanganku. “Pihak kerajaanlah yang membunuh Ayah dan Ibu, juga penduduk desa, Labra. Dan mereka melakukannya dengan sengaja.”

Mataku membulat. “Sengaja—"

Kiara mengangguk serius. “Kerajaan tahu soal orang-orang kita. Soal legenda itu. Mereka tidak mau jika kelak legenda itu benar dan anak yang terpilih itu akan menghancurkan mereka. Mereka sengaja membuang hasil gagal percobaan mereka di pegunungan itu, sehingga hanya tinggal masalah waktu sampai legenda itu menjadi nyata dan mengancam mereka, alias apa yang terjadi pada kita. Mereka membantai seluruh keluarga dan teman-teman kita, demi mencegah kau dan aku terbebas ke dunia luar. Namun, kau selamat. Dan kini, mereka memengaruhimu entah bagaimana, menjadikan musuh potensial sepertimu aman terkendali dalam jangkauan.”

Aku terhuyung mundur satu langkah. “Tapi … bagaimana bisa? Olvia adalah kerajaan yang dibangun atas sihir, menjadikan sihir tonggak utama mereka. Mana mungkin Raja GM akan membiarkan begitu saja adanya kecelakaan sihir seperti itu? Dan, bagaimana kau tahu semua ini? Bahkan setelah berbulan-bulan tinggal di sana, aku tidak pernah mendengar satu hal pun mengenai apa yang kau katakan.”

“Manipulasi,” ucapnya serius. “Justru karena mereka adalah kerajaan sihir, kesalahan sekecil apapun harus disembunyikan demi tidak meninggalkan cela. Mereka memengaruhimu dan orang-orangmu, membuat seluruh penduduk percaya bahwa mereka adalah pihak agung yang tidak pernah menyalahi sihir. Tapi, aku bersumpah apa yang kukatakan ini benar, Labra. Lihatlah dirimu sekarang, menjadi kacung raja dan keset penguasa yang dengan patuh melaksanakan segala ucapan mereka? Seharusnya dengan kemampuanmu yang sekarang, kau bisa mendapatkan yang lebih baik dari sekadar melayani otoritas kerajaan. Mereka tahu kau adalah anak yang selamat dari legenda itu, dan kini memperalatmu demi memastikanmu tetap jinak pada mereka.”

Tatapan Kiara berkilat serius, sesuatu yang jarang kulihat bahkan sebelum tujuh tahun lalu. “Mereka memanfaatkanmu, Labra,” ia menekankan tiap kata dalam kalimatnya. “Mereka menjebakmu, mengekangmu dalam kedok pasukan khusus. Kau seharusnya sadar, kau tidak semestinya bersua dengan kerajaan. Apalagi setelah kejadian tujuh tahun lalu.”

Aku ingat, awalnya aku juga tidak menginginkan posisi dalam kerajaan. Seandainya bukan karena dipaksa, aku pun tidak mau mengikuti seleksi hari itu. “Rasanya masih sulit dipercaya,” aku menukas. “Bagaimana dengan Saryu, dan lainnya? Kau mau bilang mereka juga berkonspirasi memperalatku?”

“Rekan-rekanmu itu, ya,” Kiara tampak menimbang-nimbang. “Bocah malang. Mereka juga bernasib sama sepertimu, dipengaruhi dan dibuat percaya oleh reputasi kosong. Mereka mungkin juga korban, sepertimu, tapi akan lebih sulit menyadarkan mereka. Kau harus menyelamatkan diri sendirian atau kau ikut tercuci otak habis-habisan.”

Kata-katanya merasuk dalam di kepalaku. Manipulasi. Memengaruhi. Ditarget. Diawasi. Dikekang. Dikendalikan. Diperalat. Cuci otak.

Suara langkah kaki serempak memantul di telingaku. “Labrador!”

Aku berbalik, menghunus pedang ke arah yang kutatap awas. Selapis aura biru bekerja selaras melingkupi tubuhku dalam kesiagaan.

Empat sosok manusia berderap memasuki jarak pandangku. “Labrador, apa kau—”

Sebelum aku tahu apa yang terjadi, aku menerjang maju dan menebaskan pedangku.

Labrador: The Empathless HarbingerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang