💞
Jakarta macet. Zena sejak tadi terus menekan klakson mobil yang dikemudikan. Minni cooper warna merah itu berada di tengah mobil besar yang berbaris mengantri berjalan lagi.
"Ih! Bener-bener ya, Jakarta! Hadohhh! Telat gueee!" teriaknya sendirian. Siapa juga yang mau semobil dengan Zena. Tukang ngomel, bawel, nggak sabaran, barbar.
Ia menatap jam tangan yang dipakai, sudah terlambat sepuluh menit. Ia paling anti ngaret! Apalagi acara penting. Begitu menghargai waktu adalah Zena!
Kemacetan terurai dua puluh menit kemudian. Secepat mungkin Zena melajukan mobilnya ke rumah temannya.
Komplek perumahan orang kaya begitu megah bangunannya. Pilar-pilar besar bahkan halamannya mampu menampuh mobil.
"Gede banget rumahnya. Bokap gue yang kaya raya aja ogah beli rumah segede lapangan bola gini. Berapa bayar listrinya, pembantunya pasti banyak," nyinyir Zena kepada dirinya sendiri saat masuk ke pekarangan rumah.
Ia memarmirkan mobilnya sejajar dengan mobil BMW terbaru entah milik siapa.
"Sore, Pak," sapa Zena ke sekuriti.
"Sore, Bu. Silakan masuk, acaranya di kolam renang, lewat sini," ujar sekuriti.
"Saya belum Ibu-ibu, Pak. Masih muda," tolak Zena saat dipanggil ibu.
"Oh, maaf, saya pikir," lirih sekuriti berkumis lebat.
"Emang saya tua? Perasaan nggak," sambung Zena membela diri sendiri. Sekuriti tak bisa menjawab. Zena berusia dua puluh empat tahun, penampilannya layaknya perempuan dewasa nan anggun. Tunggu, anggun? Oh, maaf, bukan Zena. Keanggunannya hampir tak ada, ia terlalu sudah untuk bersikap kalem apalahi anggun.
"Lanaaa! Happy birthday!" teriak Zena saat melihat si punya hajat alias pesta ulang tahun Lana, teman satu geng saat ia masih kuliah jurusan hukum, belum pindah ke kampus jurusan manajemen.
Keduanya bercipika cipiki. "Zenaaa ... cantik banget sih, lo! Bener-bener, ya. Lama nggak ketemu sekarang ... beughhh! CEO muda!" puji Lana.
"Lo bilang lama nggak ketemu?" sinis Zena. "Minggu lalu ketemuan, Lanaaa ... arisan elo yang menang! Kita ketemuan di kafenya Samantha! Pikun lo, ya. Baru ulang tahun!" sewot Zena. Lana hanya tergelak, memancing Zena ngomel-ngomel itu keseruan yang paling top.
Live musik dari home band yang dihadirkan Lana semakin membuat ramai suasana. Tamu undangan banyak karena acara memang diramaikan. Lana ingin berkumpul dengan semua teman yang ia kenal dekat dari TK.
Pekerjaan Lana adalah pengacara muda, ia mendirikan firma pengacara karena papanya juga seorang pengacara hebat yang sering menangani kasus hebat.
"Zenaaa!" pekik Samantha heboh.
"Berisik! Nggak perlu teriak-teriak, Saman!" Zena berdecih.
"Samantha! Saman ... saman, mentang-mentang jago nari saman."
"Bodo amat," kekeh Zena. Ia merangkul Samantha lantas berbisik, "Man, kok banyak cowok cakep?"
Lana mendekat juga, ketiganya berbisik. "Lo mau ngetake-in satu, Zen?"
"Nggak deh. Gue harus ajuin ke Papa dulu. Papa gue kan resek." Zena memundurkan wajahnya, mereka seperti sedang berunding saja.
Zena memutuskan keliling area pesta, sasarannya satu. Meja makanan! Apalagi. Baginya, datang ke pesta adalah ajang icip-icip makanan. Enak ya enak, enggak ya dijulitin nanti ke Dipa.
Sedang asik-asiknya mencicipi beberapa jenis sushi ia ditepuk pundaknya oleh seseorang. Zena menoleh, seketika ia memutar malas bola matanya.
"Mau apa lo," tanyanya dengan nada menahan kesal. Ia lanjut makan mengabaikan sosok di belakangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terjebak Mantan Belagu! ✔ (TAMAT)
Romance☆Lanjutan Single Father & Love, Zano☆ _________ Meneruskan bekerja di perusahaan papanya, Zena seperti terjebak dalam cangkang. Akan tetapi ia tak mau membuat papanya kecewa karena perusahaan turun temurun. Tetapi apes menimpanya saat laporan keuan...