Dia Berbeda

7 1 0
                                    

Keringat dingin mengucur perlahan di pelipis

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Keringat dingin mengucur perlahan di pelipis. Rasa nyeri menusuk di perut sebelah kiri. Membuatku tak bisa berkonsentrasi belajar. Sepertinya Mag-ku kambuh lagi. Aku meminta izin kepada Pak Koko –guru mata pelajaran fisika– untuk pergi ke UKS.

Fazriana mengantarku sampai ke UKS. Petugas UKS memberikanku obat. Aku meminumnya lalu berbaring di ranjang. Aku menyuruh Fazriana untuk kembali ke kelas.

"Kamu yakin gak mau aku tungguin, Ra?" tanya Fazriana memastikan sekali lagi.

"Iya, kamu balik aja ke kelas. Aku gak apa-apa kok sendirian di sini. Makasih ya udah anterin aku."

Fazriana mengangguk lalu mengusap tanganku. "Cepat sembuh, ya. Kalau ada apa-apa chat aku aja." Setelah itu ia beranjak pergi ke luar UKS.

Rasa kantuk mulai datang. Mungkin efek obat juga kali, ya. Aku pun memejamkan mata dan perlahan terlelap.

🌸🌸🌸

Aku terbangun setelah cukup lama tertidur. Sudah berapa lama aku tidur di sini? Aku melirik jam di dinding. Sudah pukul sepuluh rupanya. Lima belas menit lagi istirahat. Aku segera membereskan ranjang dan berjalan menuju wastafel untuk mencuci muka.

Saat tengah membasuh muka dengan air, ku lihat dari ekor mataku ada seseorang yang tengah duduk di dekat meja petugas UKS. Aku menoleh. Ah, rupanya benar. Di sana ada seorang siswa yang tengah bermain game di sana.

Usai menutup keran dan mengeringkan wajahku dengan tisu, aku berjalan hendak keluar UKS.

"Loh, kamu kan gadis yang kemarin di halte," ucap siswa itu saat aku melewatinya. Aku menoleh seraya mengerutkan dahi. Siapa pemuda ini? Memangnya kita pernah bertemu sebelumnya?

Ah! Aku ingat sekarang. "Kamu si cowok ugal-ugalan itu kan?" tanyaku spontan.

Ia terkekeh. "Julukan kamu menusuk sampai ke sini," ucapnya seraya menunjuk ke hatinya.

"Eh, maaf." Aku menutup mulut dengan tanganku. "Abisnya kamu kebut-kebutan gitu bawa mobilnya. Kayak lagi nahan boker aja."

"Memang," ujarnya seketika.

Mataku melebar. Padahal aku cuma asal ngomong. "Oh," ucapku singkat.

Aku melihat di dahinya ada goresan yang cukup panjang. Darah segar mengalir perlahan. Dia nggak merasa perih kali ya? Ekspresi mukanya kelihatan biasa saja tuh. Meski penasaran, aku tidak ingin menanyakan alasan di balik adanya luka itu. Takutnya dia gak nyaman. Kita juga belum saling kenal.

"Kok belum diobati lukanya?" tanyaku penasaran. Agak ngeri juga sih melihat darah lumayan banyak gitu.

"Petugas UKS-nya gak ada. Gak tahu lagi kemana."

Aku mengangguk-angguk mengerti. Kemudian, berjalan menuju lemari, mengambil satu botol cairan pembersih luka, kapas, dan plester.

"Biar aku saja yang obati kamu," ucapku. Pemuda itu hanya mengangguk.

Anyelir Twenty-sixTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang