Seandainya

9 1 0
                                    

Empat hari berlalu semenjak bencana gempa bumi yang mengguncangkan Cianjur

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Empat hari berlalu semenjak bencana gempa bumi yang mengguncangkan Cianjur. Beberapa kali gempa susulan juga terus dirasakan oleh masyarakat. Hal itu menciptakan trauma yang mendalam bagi semua warga Cianjur. Kesedihan masih meliputi para korban. Terutama bagi orang-orang yang kehilangan harta benda maupun anggota keluarganya. Puluhan rumah roboh dan ratusan jiwa mengalami luka-luka dan meninggal dunia.

Bantuan berupa pakaian dan makanan dari berbagai daerah di Indonesia berangsur-angsur berdatangan ke posko bencana.

Beberapa aktivitas terpaksa dihentikan sementara sampai waktu yang tidak ditentukan. Terutama tempat-tempat penting seperti kantor dan sekolah-sekolah yang mengalami dampak besar akibat bencana tersebut. Sehingga, orang-orang yang bersangkutan diwajibkan untuk bekerja atau belajar dari rumah masing-masing.

Begitu pula aku dan ketiga sahabatku. Pagi ini kami sedang mengerjakan tugas sekolah di ruang tengah. Kami duduk lesehan di depan TV. Setiap hari—tepatnya setelah sekolah menetapkan pembelajaran daring—mereka datang ke rumahku.

"Pisang goreng dan singkong goreng sudah matang." Ayah datang membawa sepiring kudapan dan empat gelas jus jeruk untuk kami.

Kami bersorak riang. Belajar akan lebih menyenangkan ketika ditemani cemilan, apalagi yang masih hangat.

"Terima kasih, Om," ucap ketiga sahabatku.

"Sama-sama." Ayah tersenyum senang. "Nah, gitu dong, Ram. Main ke rumah Om. Mentang-mentang udah bisa mandiri gak pernah berkunjung ke sini."

Rama nyengir kuda sambil terkekeh. "Maaf, Om. Kemarin lagi sibuk ekskul." Aku memutar bola mata malas seraya berdecak.

"Bohong dia, Yah. Bukan sibuk ekskul tapi sibuk pacaran sama Syifa," aduku pada Ayah. Seketika pipi Syifa merona merah. Gadis itu menyenggol lenganku seakan aku telah membahas sesuatu yang sensitif.

Aya tercengang. "Ya ampun, Syif! Kok mau sih sama Rama? Dia jarang mandi, lho," kelakar Ayah. Kemudian semua orang tertawa. Kali ini Rama yang bersemu pipinya. Malu karena rahasianya dibongkar Ayah.

"Itu mah dulu, Om. Sekarang rajin banget malah," sahut Rama tak terima.

"Jadi, apa yang bikin kamu suka sama ponakan Om yang jarang mandi ini, Syif?" tanya Ayah, belum puas menjahili Rama.

Yang ditanya sedang bergumam sambil tersenyum malu-malu. Menimbang-nimbang alasan yang lebih masuk akal untuk diberitahukan kepada Ayah. Sebenarnya aku juga penasaran sama jawaban Syifa. Mengingat gadis itu yang sempat gagal move on pada Rama.

"Rama selalu memperlakukanku dengan baik. Meskipun dia suka ngomong kasar, tapi hatinya benar-benar lembut. Dia melindungiku dari cipratan minyak saat kami belajar masak bareng. Dia selalu mengajakku healing pas aku lagi bad mood, dan masih banyak lagi." Dua sejoli itu saling berpandangan. Melupakan kami yang ada di sana memperhatikan mereka dengan geli. Seakan dunia ini milik mereka dan kami cuma ngontrak.

Anyelir Twenty-sixTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang