Hari Ceria

5 0 0
                                    

"Dia yang memberiku cinta, dia juga yang memberiku luka."

–Haira Bia Malivalaya–

Ditemani lagu dari Tiara Andini yang berjudul Usai, Ore melaju di jalanan dengan kecepatan rendah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ditemani lagu dari Tiara Andini yang berjudul Usai, Ore melaju di jalanan dengan kecepatan rendah. Hujan turun dengan lebat selayaknya hati yang sedang bersedih.

Aku menatap ke luar jendela, melihat lalu-lalang kendaraan lain yang sama-sama tengah menerobos derasnya hujan. Di sampingku, Tan sedang fokus mengemudikan Ore –mobil kesayangannya.

Sejak kejadian di tangga tadi, Tan menawarkan diri untuk mengantarku pulang. Aku tidak punya alasan untuk menolak. Jadi, ku putuskan untuk menerima tawarannya. Setelah masuk ke dalam mobil, Tan tidak mengatakan sepatah kata pun hingga saat ini. Kami sama-sama diam. Meskipun aku tahu sebenarnya Tan ingin bertanya tentang keadaanku, namun dia ragu. Tampak dari gelagatnya yang berulangkali menoleh ke arahku. Mungkin dia merasa tidak enak, makanya dia memilih untuk diam.

Sepanjang perjalanan kami hanya menikmati alunan musik yang sejujurnya terdengar menyedihkan. Aroma tanah yang baru saja dibasahi hujan menyeruak ke dalam indera penciuman.

Suasana jalanan tidak terlalu padat, sehingga kami bisa sampai ke rumahku dengan cepat. Tan membantuku membukakan pintu mobil, memayungiku dengan jaketnya dan memapahku sampai ke depan rumah.

"Mau mampir?" tanyaku pada Tan.

Dia menggeleng, lalu tersenyum kecil "Gak usah, makasih. Mungkin lain kali aja."

"Baiklah. Terima kasih, ya, udah nganterin aku pulang."

"Santai aja, Bia." Tan menutupi kepalanya dengan jaketnya. "Kalau gitu, aku pulang dulu, ya. Dah." Aku balas melambaikan tangan ke arahnya.

Tan berlari kemudian masuk ke dalam mobil. Setelah itu dia menjalankan mobilnya hingga menjauh dari rumahku.

Aku masuk ke dalam. Niatnya mau langsung ke kamar, tapi karena ada Ayah yang sedang duduk di depan tv, aku memilih menghampiri Ayah dan duduk di sampingnya.

Ayah memandangku dengan tatapan khawatir. Mungkin Ayah sadar kalau anak gadisnya ini sedang tidak baik-baik saja.

"Anak Ayah kenapa? Matanya kok sembap gitu?" tanya Ayah sambil mengusap rambutku pelan.

Aku menggeleng, tidak ingin menjawab pertanyaan dari Ayah. Aku takut menangis lagi dan membuat Ayah sedih.

"Lagi marahan, ya, sama Yuta?" Mendengar pertanyaan itu, seketika tangisku pecah. Aku menggeleng lagi. Berusaha menyembunyikan kebenarannya.

Ayah menghela napas panjang. Tangannya beralih memegang tanganku erat. "Aira, ceritain aja semuanya sama Ayah. Ayah akan selalu mendengarkan keluh-kesah kamu tanpa menghakimi siapapun," ucap Ayah meyakinkan.

Aku memandang Ayah sejenak. Ayah tersenyum sambil mengangguk. Meyakinkanku untuk bercerita kepadanya. Perlahan-lahan aku menceritakan semua kejadian yang ku alami tadi, sembari mengusap pipiku yang basah karena tak henti-hentinya menangis.

Anyelir Twenty-sixTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang