23. | Pendongeng yang Handal

19 6 0
                                    

CHAPTER 23.
PENDONGENG YANG HANDAL

—○●○—

JIWOONG memperhatikan adiknya dari ujung kaki hingga kepala. Dahinya berkerut dan berulang kali memicingkan mata, seolah sedang memastikan bahwa yang dilihatnya saat ini benar Jiyoon.

"Kenapa Kakak melihatku seperti itu?" Sementara Jiyoon—yang entah sudah berapa menit berdiri—mendadak kesal dengan tingkah Jiwoon yang seperti melihat sosok hantu saat pertama kali menginjakkan kaki di apartemen Hanbyul.

"Ini benar kamu?" Tanya Jiwoong.

"Kak!"

Jiwoong tertawa terbahak-bahak melihat raut wajah Jiyoon dengan bibirnya yang maju beberapa senti ketika sedang cemberut. Ia mengacak-acak rambut hitam Jiyoon hingga pemiliknya semakin kesal. Namun, bukannya minta maaf, Jiwoong justru menyamankan dirinya pada sofa ruang tengah, mengistirahatkan tubuh lelahnya setelah seharian mengerjakan proyek untuk sebuah penelitiannya.

"Profesor Nam seharian ini menerorku. Aku pikir apa yang dikatakannya tidak benar," katanya.

Salah satu alis Jiyoon terangkat. "Kenapa dia melakukan itu?"

"Apa lagi jika bukan karena mama yang menjemputmu tanpa sepengetahuannya." Jiwoong menghela napas. Ia lalu mengedarkan pandangannya ke sekitar apartemen milik Hanbyul, dan baru menyadari bahwa ini pertama kalinya ia benar-benar menginjakkan kaki ke tempat ini.

Dua jam yang lalu, Jiwoong mendapat kabar dari Hanbyul bahwa ia harus datang kemari dan menjaga Jiyoon selama Hanbyul mengikuti acara pembukaan butik barunya. Berbeda dengan Jiyoon yang sudah tak lagi asing, Jiwoong merasa agak canggung. Wewangian bunga yang tercium ketika ia melangkah masuk selalu mengingatkannya akan peristiwa menyedihkan seumur hidupnya—saat ia harus memeluk tubuh mamanya untuk terakhir kali di hari perceraian kedua orang tuanya yang secara sah telah diumumkan.

"I don't want to come back." Ucapan Jiyoon menyadarkannya dari ingatan masa lalunya. Jiwoong berbalik, memandang ke arah Jiyoon dengan tatapan heran.

"Apa yang kamu bicarakan?" Terdengar nada tidak suka dari Jiwoong saat ia melihat kesungguhan dari wajah Jiyoon.

Tatapan Jiwoong berubah menjadi tajam, membuat nyali Jiyoon menciut dalam sekejap. "Kak, ada sesuatu yang harus kulakukan."

"Apa? Kau berbuat onar lagi di sana?"

Jiyoon menggeleng. "Bukan begitu." Helaan napas keluar dari mulutnya, dan semuanya jadi tampak lebih rumit. "Akan aku jelaskan nanti ketika mama datang."

—○●○—

Di tengah hiruk-pikuk manusia yang datang ke acara peresmian butiknya, Hanbyul tentu tidak asing dengan seorang pria berpakaian kemeja biru serta celana hitam—cara berpakaian yang dihafalnya—yang hanya berdiri mematung di luar butik. Hanbyul memutuskan menghampiri, dan seketika banyak media yang meliput keduanya.

"Aku pikir kau tidak akan melihatku," kata pria itu.

Hanbyul hanya tersenyum. "Ku rasa kita harus bicara."

Hanbyul memiliki ruangan khusus dalam butiknya, yang mana hanya ia yang memiliki akses untuk masuk ke dalamnya. Hingar-bingar acara peresmian dapat ia dengar, tamu masih terus berdatangan, tetapi untuk berbicara dengan pria yang pernah menjadi belahan jiwanya, Hanbyul seolah ini satu-satunya waktu yang ia punya.

Keduanya saling duduk berhadapan, ditemani secangkir teh hangat melati yang aromanya memenuhi seisi ruangan. Hanbyul masih ragu untuk bicara jika pria di hadapannya ini belum membuka mulutnya. Namun, ternyata keheningan yang melanda di antara keduanya terasa menyiksa.

ORPHAN [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang