02. | Panti Asuhan di Atas Bukit

105 13 0
                                    

CHAPTER 02.
PANTI ASUHAN DI ATAS BUKIT

—○●○—

JIYOON menghela nafas. Pagi-pagi sekali ia berdiri di halte tak jauh dari rumahnya. Ransel merah dan sebuah koper berukuran sedang terletak di atas kursi, sedangkan ia sibuk memperhatikan ponselnya sejak tadi. Udara yang dingin membuatnya merapatkan jaket tebal yang ia kenakan. Uap putih terlihat keluar dari mulutnya ketika ia menghela nafas.

Pagi ini Jiyoon menunggu supir yang katanya diperintahkan Profesor Nam untuk mengantarnya menuju panti asuhan. Jiyoon sengaja pergi pagi-pagi sekali menghindari pertanyaan Jiwoong. Semalam ia sudah menghubungi supir agar menjemputnya pukul lima. Namun, hingga pukul enam, supir yang ditunggunya tak kunjung datang. Ia sudah kedinginan, belum lagi tatapan orang-orang yang seakan seperti mengasihaninya.

Sekitar enam menit kemudian, sebuah mobil hitam berkaca gelap berhenti di depannya. Tadinya, Jiyoon pikir dirinya mungkin akan berakhir diculik karena mobil hitam itu terlihat mencurigakan, tetapi setelah kaca hitam terbuka dan sosok pria tua tersenyum ke arahnya, ia menghela nafas lega

"Kim Jiyoon?" Tanya pria itu.

Jiyoon mengangguk, bersiap membereskan ransel dan kopernya. "Bapak supir Profesor Nam, bukan?"

"Ya, betul. Silakan masuk, Non." Namun, Jiyoon tetap di tempatnya. Ia menunggu supir itu membantunya mengangkat koper—yang rupanya tidak kunjung dilakukan pria tua itu. Sambil menghela nafas kasar, akhirnya ia mengangkat koper miliknya, meletakkannya di bagasi, setelah itu duduk pada kursi penumpang di belakang.

Mobil hitam itu lalu berjalan pelan. Sangat pelan hingga Jiyoon yakin ia bisa sampai ke tempat tujuan sore hari. Padahal, sesuai dengan peta yang dikasih Profesor Nam, panti asuhan tidaklah jauh. Mungkin membutuhkan waktu sekitar tiga jam untuk tiba di sana.

"Pak, bisa jalan lebih cepat?" Akhirnya, merasa tidak tahan, karena udara yang sepertinya semakin dingin, Jiyoon meminta supir untuk mengemudi lebih cepat.

"Baik, Non." Si supir menjawab. Anehnya terdengar seperti robot. Jiyoon menatap spion tengah, merasa heran dengan supir yang mendadak berubah menjadi pria yang kaku. Alih-alih memikirkannya, Jiyoon memilih untuk memejamkan mata sejenak, dengan harapan ketika ia membuka mata, dirinya telah tiba di panti asuhan.

Sekitar dua jam kemudian, Jiyoon terbangun saat merasakan dirinya terantuk-antuk jendela mobil dengan keras. Sambil berusaha memperhatikan jalanan yang tengah di lalui, ia mengusap dahinya yang memerah perlahan.

Jiyoon tidak yakin dengan apa yang dilihatnya—kesadarannya belum juga sepenuhnya kembali. Ia bisa memastikan dirinya bisa melihat tebing-tebing tinggi penuh dengan pepohonan hijau di kanan-kirinya. Jalanannya memiliki banyak belokan tajam—salah satu alasan Jiyoon sering terantuk jendela mobil. Hanya saja, bukan itu yang jadi masalahnya, melainkan tempat asing yang sama sekali tidak ia ketahui. Jiyoon sekali lagi menatap pada spion tengah, memastikan bahwa ia masih berada di dalam mobil dan supir yang sama.

"Pak," panggilnya pelan dan sedikit terbata-bata.

"Nona sudah bangun? Bagaimana tidurnya?" Pria itu berbicara dengan nada bicara yang sama seperti sebelumnya.

"Oh, anu.. ya, cukup nyenyak." Jiyoon merasa sangat gugup, entah mengapa. Ia yakin sekali, peta tidak menunjukkan adanya jalan ini menuju panti asuhan. Lagi pula, Profesor Nam mengirimnya menuju panti besar, terkenal, dan memiliki reputasi yang bagus di tengah kota. Seharusnya ia tidak melewati jalanan yang rimbun dengan pepohonan.

Ia pun merogoh saku jaketnya, membuka kembali peta pemberian Profesor Nam. Mengejutkannya, keberadaannya saat ini persis dengan rute menuju panti dalam peta. Aneh. Sangat aneh. Ia merasa yakin beberapa saat yang lalu peta tersebut masih menunjukkan tempat-tempat di kota. Apa aku halusinasi?

ORPHAN [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang