(Ghost series #5)
Mendaftar ke sekolah baru sepertinya bukan pilihan yang tepat. Masa SMA-nya yang hanya tinggal sisa setahun menjadi berantakan akibat kegilaan di luar nalar sekolah elite itu. Namun, apalah daya Falea Binara, seorang anak tunggal y...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Di dalam apartemennya, Arash menyalakan laptop setelah selesai mandi. Segelas teh hangat ada di sisi laptop yang menyala di tengah ruangan yang gelap gulita. Waktu sudah menunjukkan pukul 12 malam, di luar kaca besar apartemen sedang hujan deras, dalam seminggu ini hujan bisa turun empat kali. Arash tidak masalah dengan hal itu, ia termasuk orang yang menyukai hujan. Namun, jika dipikirkan di sisi lain, hujan bisa menghentikan langkah seseorang yang sedang bergerak. Entah itu bekerja atau hanya ingin mengelilingi kota. Ada banyak orang tidak beruntung yang tidak memiliki rumah, jika hujan tiba, tidak ada naungan yang harus mereka singgahi. Karena itu, Arash tidak bisa menyalahkan orang-orang yang benci dengan turunnya hujan, karena setiap orang memiliki cerita yang berbeda.
Arash membuka file setelah memasang flashdisk pada laptop, lalu menonton rekaman CCTV dengan serius.
10 menit, 20 menit, 30 menit, hingga satu jam lamanya Arash masih tetap berada di hadapan laptopnya. Hampir semua rekaman Arash tonton tetapi tidak hasil yang Arash harapkan ditemukan. Beberapa kali laki-laki berkaus putih itu menguap ketika kantuk mulai menyerang, ia kembali meminum tehnya untuk tetap terjaga.
"Jamnya..." Arash sepenuhnya sadar saat menemukan kejanggalan. Ia mengulang rekaman tadi dengan teliti. "Sebelumnya jam 2 lebih 16, tapi detik berikutnya tiba-tiba jam 2 lebih 18...." Arash mengulang rekaman itu berulang kali. Jika dilihat dengan saksama, rekamannya memang terlihat dipotong. "Rekamannya dipotong beberapa menit. Tapi siapa?"
Drett... drett... drett...
Ponsel Arash bergetar di atas meja. Layar pipih itu menunjukkan nama 'Suster Gina' yang meneleponnya pagi buta seperti ini. Tanpa pikir panjang Arash mengangkat telepon itu dengan jantung berdebar.
"Halo, sus?"
"Halo, Arash. Maafkan saya menelepon pagi buta seperti ini..."
"Iya, sus. Gak apa-apa. Ada apa, ya?"
"Bu Wanda demam dan tadi sempat kejang juga..." Kaki Arash lemas mendengarnya. "Keadaannya sekarang sudah tidak kejang, tapi demamnya belum turun."
Arash berdiri dari tempatnya dan bergegas mengambil jaketnya yang tergelatak di sofa, tak lupa juga Arash mengambil kunci motornya.
"Tolong jaga Bunda sampai saya datang ya, Sus. Saya ke sana sekarang." Arash pergi keluar apartemen dengan tergesa-gesa.
•••
Di tempat yang berbeda, Falea masih berada di bawah lampu belajarnya mengerjakan soal-soal yang mungkin saja keluar untuk kuis 2 nanti. Falea tahu kuis ini bukan segalanya atau akhir dari tes, masih banyak tes lain yang akan menyambutnya di akhir tahun masa SMA-nya ini. Hanya saja, Falea ingin berusaha keras untuk kuis ini. Ia ingin berkembang dan naik tingkat. Falea tidak takut kalah, sejujurnya. Falea hanya takut orang tuanya merenggut mimpi satu-satunya yaitu bersekolah di sekolah biasa.