(Ghost series #5)
Mendaftar ke sekolah baru sepertinya bukan pilihan yang tepat. Masa SMA-nya yang hanya tinggal sisa setahun menjadi berantakan akibat kegilaan di luar nalar sekolah elite itu. Namun, apalah daya Falea Binara, seorang anak tunggal y...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Saat Arash menginjakan kelas 1 SMA, Arash memutuskan untuk pindah dari mansion mewah keluarga Baskara, ke sebuah apartemen mewah di tengah kota. Meskipun apartemen itu masih berada di bawah naungan keluarganya, tetapi setidaknya ia bisa keluar dari rumah yang sama sekali tidak menunjukan kehangatan.
Arash Arshaka Baskara. Putra tunggal dari keluarga Basakara. Tetapi itu dahulu, sebelum akhirnya Ayah Arash menikah lagi dengan seorang wanita yang dulunya merupakan seorang ketua ART di kediamannya. Wanita bernama Lily itu memiliki seorang putra dari suaminya sebelumnya bernama Nata. Umurnya hanya terpaut dua tahun dengan Arash.
Bunda Arash meninggalkan rumah saat Arash kelas 9 SMP, ia meninggalkan Arash di rumah itu sendirian. Padahal sebelumnya tidak ada yang membuat Arash nyaman di rumah itu selain keberadaan Bundanya di rumah.
Keluarga Arash termasuk jajaran keluarga konglemerat di negara ini. Berkecimpung di bisnis akomodasi, penerbangan, bahkan perbank-an menjadikan keluarga ini tersohor di negeri ini. Namun, belum banyak orang mengetahui keadaan internal keluarga yang dianggap sempurna semua orang di luar sana. Mereka tidak tahu saja bahwa keluarga Baskara ini, tidak sesempurna tampak luarnya. Nyatanya, tidak semua uang bisa membeli kebahagiaan seseorang. Contohnya Arash, bergelimang harta tidak menjamin dirinya bahagia sepenuhnya.
"Kapan kamu akan pulang Arash?" pertanyaan itu setidaknya akan dilontarkan seminggu sekali oleh Martin Baskara, Ayah Arash.
Arash menutup pintu balkon apartemennya karena angin di lantai 40 begitu kencang apalagi menjelang hujan begini. Langit mengeluarkan cahaya secepat kilat berwarna merah keunguan. Arash memindahkan posisi ponselnya ke samping kanan lalu menghela napas lelah. "Please, stop nanyain ini. Saya gak mau pulang."
"Kenapa? Apa apartemen itu lebih nyaman dibandingkan rumah?"
"Hm. Alasannya... anda tahu sendiri." Arash membaringkan badan di sofa, matanya menatap langit-langit dengan tatapan lurus.
"Arash, Lily sekarang sudah jadi bagian dari keluarga kita."
Arash sontak tertawa pelan. "Konyol."
"Arash!" suara di sebrang sana meninggi. "Dia itu Mama ka--"
Tut... tut... tut...
Arash melempar acuh ponsel itu ke atas meja. Dipijitnya pangkal hidung mancungnya menggunakan kedua jarinya, lalu memijatnya pelan. Kepalanya sedikit berat. Tenggorokkannya sakit. Suhu tubuhnya pun terasa meningkat. Sepertinya Arash menunjukan gejala flu.
Arash bangkit dari sofa, berjalan menuju lemari di dapur untuk mencari obat-obatan, namun sayangnya Arash tidak pernah mengstok obat apapun di apartemennya. Arash hanya bisa menghela napas berat dan meminum air putih hangat, lalu pergi tidur. Berharap, jika besok pagi keadaannya akan membaik.