(Ghost series #5)
Mendaftar ke sekolah baru sepertinya bukan pilihan yang tepat. Masa SMA-nya yang hanya tinggal sisa setahun menjadi berantakan akibat kegilaan di luar nalar sekolah elite itu. Namun, apalah daya Falea Binara, seorang anak tunggal y...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Pintu terbuka saat Arash menekan password pintu dengan benar. Arash mengganti sepatu dengan sendal santai lalu masuk ke dalam apartemennya yang masih gelap gulita. Dalam satu kali tekan lampu menyala dan menerangi seluruh ruangan.
Langkah Arash terhenti di area tengah apartemennya. Papanya ada di sini.
"Dari mana saja jam segini baru pulang?"
Sorot mata Arash berubah dingin dan tajam. Langkahnya mendekat pada sang Papa. "Bagaimana bisa masuk ke dalam sini?"
"Kamu lupa?" Martin Baskara menaruh ponselnya di sofa lalu menatap putranya yang hampir 1 bulan ini tidak ia temui. "Papa yang punya tanah ini, bangunan ini, apartemen ini."
"Salah. Ini punya Kakek."
"Kakek sudah mewarisinya pada Papa jika kamu lupa."
Arash tersenyum miring. Matanya berputar ke arah kaca besar sebagai dinding pembatas. "Papa pergi, Arash malas berdebat."
Papa menaruh beberapa lembar foto ke atas meja, mata Arash otomatis melirik ke arah sana dan rahangnya mengeras seketika.
"Falea Binara. Putri semata wayang dari keluarga Airlangga. Benar?"
"Jangan bawa-bawa dia."
"Kamu pacaran dengan dia?" Papa memotong cepat.
"Peduli apa Papa sama Arash?"
"Jangan dengan dia. Masih banyak anak konglomerat lain yang lebih pantas dengan kamu. Dia-"
"STOP!" Arash berteriak frustasi.
"Dia pernah bunuh temannya di sekolah sebelumnya!" Papa berdiri, kini ayah dan anak itu saling berhadapan. "Papa sudah cari informasi tentang dia sebelumnya, dia dahulu sekolah di SMA Dwilangga dan berhenti saat kelas 1 SMA. Kamu tahu alasannya?"
Arash tidak membalas. Ia tidak mau tahu dan tidak ingin tahu tentang itu. Namun anehnya, ada sedikit bagian dari dirinya ingin mendengar semua itu.
"Dia mendorong temannya ke jurang karena dia kalah bersaing dalam segala hal. Setelah itu keluarga itu menyembunyikan dia serapat mungkin dan kembali ke masyarakat beberapa bulan ini. Menurutmu apa baiknya dia setelah mendengar ini?"
Sudut bibir Arash terangkat sedikit. "Sampai sejauh itu Papa cari tahu ternyata..." Arash menghela napas dalam-dalam, mencoba meredam amarahnya yang hampir pecah.
Sedari dulu, hidup Arash tidak pernah memiliki privasi dalam hal apapun. Hal sekecil apapun yang Arash punya yang hanya ingin ia rahasiakan untuk dirinya sendiri akan Papanya cari tahu sampai ke akar. Papa selalu ikut campur dalam segala hal yang Arash miliki. Papa berpikir Arash tidak bisa apa-apa tanpa Papanya. Semua yang Arash punya, Papa wajib mengetahui. Arash yang kian dewasa tentu saja muak dengan ini semua. Bahkan terkadang apa yang dimilikinya itu hancur begitu saja.