(Ghost series #5)
Mendaftar ke sekolah baru sepertinya bukan pilihan yang tepat. Masa SMA-nya yang hanya tinggal sisa setahun menjadi berantakan akibat kegilaan di luar nalar sekolah elite itu. Namun, apalah daya Falea Binara, seorang anak tunggal y...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Suara sirine khas memenuhi seluruh ruang mobil ambulance yang hanya sepetak. Di dalam ruang terbatas ini, hanya ada Arash, Falea, dan seorang Paramedis yang sibuk memonitor keadaan Falea yang tidak sadarkan diri.
Tadi, pada saat dalam pelukkan Arash, tiba-tiba tubuh Falea terkulai lemas dan hilang kesadaran. Arash dengan gerak cepat menelepon ambulance untuk membawa ke rumah sakit terdekat milik keluarga Falea. Arash bahkan meninggalkan motornya terparkir di pinggir jalan. Menurut Arash hal itu tidak penting, ada hal lain yang lebih penting di bandingkan hal itu.
Pandangan Arash turun pada telapak tangan Falea yang terbuka, ada sebuah luka yang masih belum kering di telapak tangan gadis itu. Arash menduga jika luka itu didapatkan beberapa hari lalu. Entah apa yang terjadi tapi Arash yakin itu pasti sangat sakit.
"Bisa tolong obati luka ini?" pinta Arash pada petugas medis itu.
Dengan sigap petugas itu mengangguk, kemudian langsung mengambil beberapa alat dan bahan yang dibutuhkan. "Apa pasien memiliki riwayat penyakit mental? Saya rasa ini luka saat seseorang menyakiti dirinya sendiri,"
Arash terdiam. Matanya langsung menatap wajah Falea yang pucat. Jawabannya... Arash tidak tahu.
Apa ingatan Falea kembali seluruhnya? Itu kenapa Falea melakukan itu?
"Sudah," ujar petugas itu.
Arash memasangkan kembali kalung Falea yang sempat hilang itu. Kini kalung itu kembali kepada pemiliknya dan seharusnya memang ada di situ.
Tatapannya kembali pada tangan Falea yang kini tertutup perban itu. Tangannya terangkat, bergerak ragu mendekat untuk menggenggamnya, namun sejenak Arash berpikir, apa hal itu akan menyakiti lukanya? Butuh waktu beberapa detik sebelum akhirnya Arash memutuskan untuk menggenggam ujung jari-jari Falea tanpa menyentuh perban putih itu.
Petugas medis yang sedari tadi melihat setiap gerak-gerik Arash pun hanya bisa tersenyum kecil dan mencoba kembali fokus pada pekerjaannya. Sebenarnya dia sangat ingin bersorak untuk kedua orang ini.
Lima menit kemudian, mobil ambulance sampai di rumah sakit. Begitu ranjang diturunkan dari ambulance, salah satu dokter yang berjaga langsung membawa Falea ke dalam gedung rumah sakit dan dilanjutkan dengan pemeriksaan.
Arash mengikuti di belakang dengan perasaan cemas. Tak lama, datang seorang perawat bertanya pada Arash.
"Maaf, sebelumnya ini dengan siapa, ya? Apa wali dari pasien?"
Arash menggeleng pelan. "Saya temannya. Itu..." Arash melirik Falea yang masih diperiksa. "Teman sekolah saya."
Suster itu mengangguk paham. "Apa ada wali yang bisa dihubungi?"
Arash menggigit bibir bawahnya sesaat sambil meraut rambutnya ke belakang. "Walinya mungkin ada di ruangan kerjanya di atas,"
Suster itu terdim, alisnya naik tanda bingung. "Maksudnya..."