Jakarta, 2020
Suara teriakan di malam dingin, kembali ku dengar. Riuh bergumuruh, sorak perkataan yang menyerang titik sensitif diriku (mental).
Rumah adalah kehangatan, namun apa artinya rumah tanpa kehangatan?
Di malam itu aku merasakan atmosfer yang begitu dingin, aku yakin suasana ini juga dirasakan oleh saudaraku yang lain.
"maksud lu apaan ?!!!"
"gua, udah capek ya begini terus!"Muka pucat yang tergambar di wajahku, perasaan campur aduk yang aku rasakan pada saat itu, dan hasil dari pandangan kedua bola mataku, yang tergambar jelas di memoriku saat ini, menjadikan luka hebat yang tidak ingin ku rasakan lagi.
"Kenapa harus keluarga? kenapa harus aku merasakan hal yang seharusnya namanya keluarga tidak seperti ini!"
Alasanku kuat sampai saat ini hanya keluarga, hanya mereka yang ku jadikan 'Rumah'.
"Kalau rumahnya hancur, aku bagaimana?"
"Apa hal yang paling menakutkan dari perpecahan?"Dua pertanyaan yang dapat menyebabkan hati kita hancur sehancur-hancurnya.
Pada suatu perpecahan, makna kecemasan dan ketakutan menjadi hambatan mencari tempat ketenangan.
Nggak ada satu pun anak di dunia ini, yang ingin keluarga nya hancur.
"Ayah, ibu jangan pisah. Aku nggak bisa ngelihat kakak dan adik-adikku menangis hingga meringis."
"Aku takut."
Sialnya, malam yang sangat dingin itu berhasil membuat air mataku kering, dan hanya membuat diriku mengelus dada, dengan memikul rasa sakit yang teramat dalam.
Rumah yang harusnya menjadi obat, kini telah berubah menjadi luka terhebat.
Pelukan erat, satu saudara dengan saudara lain saling merangkul, dan saling menguatkan, itulah kehangatan yang masih bisa aku rasakan di tengah malam yang sangat begitu dingin.
Keluargaku, adalah segalanya bagiku.
Menghela nafas dalam-dalam,
"Lagi dan lagi aku aku harus merasakan hal-hal yang jutaan manusia di dunia ini tidak ingin mereka rasakan."
Dari satu rumah yang seharunsya menjadi tempat singgah ternyaman, kami harus merasakan memiliki dua rumah, yang diharuskan untuk memilih ikut dengan siapa. Dari keduanya, nggak ada kehangatan dan kenyamanan yang aku rasakan.
Tenggelam dalam lautan djavu akan malam yang dingin itu, terhempas ombak perpecahan yang kian membuat hatiku semakin sakit dan hancur, tapi aku diharuskan menjalani hari-hari seperti biasa, namun sangat berbeda dan terasa hampa.
Jembatan adalah akses penghubung dua daratan yang terpisah oleh perairan, memiliki banyak sekali pondasi-pondasi yang sangat kokoh.
Dalam situasi saat itu, aku ingin sekali bisa menjadi jembatan di antara ayah dan ibuku. Menjadi penghubung dan pengerat, supaya tidak terjadi perpecahan.
Apa yang lebih indah dari sebuah perpisahan?
Hanya ada penantian yang tiada henti, akan kenangan menjadi kerinduan yang selalu dinanti.Ayah, ibu, aku adalah cctv yang merekam kejadian yang aku harap tidak akan pernah terjadi lagi, dan takkan pernah.
Dari diriku, untuk kalian.
Dari kalian, untuk saudara-saudaraku.