Hari itu keberangkatan Anasera untuk KKN di desa kecil yang berada jauh dari halamannya, dan itu adalah hari yang menjadi titik kecemasan berlebih kepadanya. Anasera selalu bersih keras agar membuatku tenang, dia pandai jaga diri katanya. Dengan sejuta kecemasan, diriku khawatir selalu akan kondisi Anasera di sana. Memberi foto kegiatannya sehari-hari, membuat perasaanku lebih tenang.
Aku membuatkan album google drive untuk dirinya selama dia KKN, bertujuan agar dia juga bisa melihat kegiatanku jikalau ia senggang. Anasera bercerita betapa senangnya saat tengah mengabdi langsung ke msayarakat, berinteraksi dengan orang-orang baru.
Keluar dari zona nyamannya, Anasera merasakan dunia luar yang beraneka ragam sifat, tingkah laku, bahkan budaya. Dengan karakteristiknya, menurutku Anasera nyaman dengan kegiatannya di sana.
Setiap malam kami selalu bercerita, tentang kesehariannya di sana, dan keseharianku di sini. Nampaknya dia begitu ceria di pekan pertamanya, terdengar begitu seru saat Anasera menceritakan setiap momen serunya selama sepekan.
Di lain sisi, saat tengah kegiatan KKN yang begitu padat, aku juga tengah dalam kesibukan, dan bahkan dalam tekanan dari setiap permasalahan yang ada. Membuat pikiranku tidak dapat berpikir dengan jernih, dan keliru menentukan arah.
Terjadi kurangnya intensitas antara aku dan Anasera di saat seperti ini membuat kami semakin renggang, yang di mana seharusnya kami tengah saling mengerti, saling menjadi pendegar dan pembicara yang baik, tapi malah sebaliknya.
Malam itu Anasera tengah dalam fase yang begitu capek, dirinya tak kuasa lagi menahan amarah. Anasera memisahkan diri dari kelompoknya, entah kemana dia pergi. Namun, saat pergi dia menelfonku dengan harapan aku bisa ada untuk menemaninya saat itu. Saat itu aku tengah berbincang serius dengan keluargaku, tak sempat melihat ponsel. Malam itu dia larut dalam kesedihan, tanpa diriku yang diharapkannya.
Anasera tampak begitu kecewa kepadaku, aku tidak dapat membayangkan seperti apa suasana hatinya malam itu. Sejujurnya, aku ingin ada untuknya saat itu. Penerang malamnya yang gelap mungkin saat itu hanya aku, dan aku malah tidak dapat meneranginya dalam kegelapan.
"Kamu malam pergi ke mana?" Tanyaku, dengan rasa bersalah.
Dia melanjutkan sisa-sisa hari KKNnya dengan menyimpan luka pada malam hari itu, namun dia harus tetap menjalankan segala tugas dan laporannya. Ntah, seperti apa tingkat letih yang sudah ia rasakan. Memikirkannya saja sudah terbayang lelahnya, bagaimana ketika ia menjalaninya. Mungkin perasaannya saat itu sunyi di tengah keramaian, lelah di tengah keharusan bekerja.
Pada waktu yang harusnya kami saling mengerti, tapi kami malah tidak mengerti satu sama lain. Dia dengan permasalahannya, aku dengan permasalahanku. Mungkin itu yang menyembabkan ego diantara kami lebih tinggi, menuntut ingin dimengerti.
Keluargaku menjadi permasalahanku yang sangat serius saat itu, keluargaku sedang toxic-toxicnya, dan bahkan terbilang hampir runtuh. Aku ingin juga dimengerti, dia juga perlu dimengerti. Hubungan kami merenggang semenjak cekcok di antara kami, aku terbawa suasana sampai-sampai ada perkataanku yang menyakiti hatinya. Saat itu aku bilang padanya bahwa hubungan kami toxic. Sejujurnya aku tidak mengerti pada diriku sendiri, harusnya mengerti dirinya, tapi malah ikut terbawa suasana dan berbalik memarahinya.
Aku telat menyadari kebodohan diriku, rasa-rasanya aku hanya mementingkan egoku daripada memikirkan dirinya. Hingga Anasera usai melakukan KKN dan kembali pulang, kami justru masih terjebak dalam cekcok yang tiada henti.
Malam itu aku sedang bersama Baskara, dia menemaniku berbincang dengan Anasera melalui ponselku. Anasera mungkin sudah melebihi batas capeknya, dan begitupun dengan diriku. Obrolan kami di panggilan suara mungkin hanya sorak-sorak amarah, tempramentku yang membuat Anasera semakin takut untuk bicara kepadaku. Anasera mematikan panggilan usai aku berbicara dengan nada tinggi padanya.