𝓢𝓪𝓵𝓲𝓷𝓰

35 2 0
                                    

Dua manusia tengah berdebat karena satu hal kecil, beradu argumen dengan opininya masing-masing. Aku dan Sava tengah berbincang mengenai tingkah laku mantannya yang begitu absurd. Sava adalah temanku sewaktu masih di sekolah menengah atas, dia sering bercerita tentang hal-hal absurdnya, seperti mantan misalnya. Terkadang Sava menjadi orang tuli saat dirinya tengah menjadi budak cinta, sering kali kunasehati tentang tingkah laku mantannya yang bisa dibilang selalu menyakiti dirinya.

Perempuan sangat sulit dimengerti. Mereka tahu apa yang menyebabkan sakit, tapi mereka malah mendekat bahkan bermain-main dengan penyebab itu. Kalau sedang bermesra lupa dengan semua, tapi jika dibalas luka menjadi manusia paling tersakiti.

Sava adalah temanku yang sangat keras kepala, menurutku. Banyaknya nasihatku yang hanya masuk telinga kiri, keluar telinga kanan. Hubungannya yang begitu aneh dan labil,membuat isi kepalaku berputar untuk membuat rumusan masalah yang ada pada Sava dan mantannya.

Bengal adalah kata yang tepat untuk menjadi nominasi Sava dalam menjadi pendengar. Sejujurnya, sedih rasanya jika mendengar dirinya disakiti mantan yang tidak memiliki harga diri itu. Sava adalah perempuan baik yang kukenal selama ini. Namun, naas hatinya salah dalam memilih.

"Gua kan udah bilang sama lo, Va! Kalau dia itu nggak baik buat lo." Ujarku sambil memarahinya.
"Tapi kan kemarin-kemarin gua sayang sama dia!" Ucapnya dengan perspektif anehnya itu.
"Sayang, sayang... Liat perlakuan dia gimana? Waktu itu lo juga pernah bilang soal dia yang udah nyakitin lo dengan cara yang lo tau dan lo rasain sendiri." Ujarku untuk menyadarkannya.
"Iya gua ngerti, tapi gua juga nggak paham. Tapi lu harus tau juga, gua udah ilfeel sama dia!" Ucapnya.
"Bentar, ada apaan nih." Ucapku ke Sava.
"Ya, semua perlakuan dia yang lu bilang jahat itu. Sekarang udah bikin gua sadar kalau dia nggak layak buat gua pertahanin" Ucapnya, dengan emosi karena geram kepada mantannya.

Rasa-rasanya aku merasa senang, karena doaku sejak lama terkabul hari itu. Terus terang saja, aku sangat tidak suka Sava jika masih mempertahankan mantannya, karena Sava tidak pantas untuk mantannya, dia begitu baik dan pengertian.

Perasaaan memang sulit dimengerti.
Terlebih jika ego telah menguasai diri,
Menjadi jelmaan prasangka hati.
Nyatanya hanya perspektif belaka pada diri,
Mengunci pikiran dan hati.

"Va, kayaknya bunda nggak ada. Kemana?" Tanyaku karena tidak merasakan kehadirannya.
"Lagi pergi ke luar, adanya budeh sama adik-adikku." Jawabnya.
"Nggak apa-apa , Va. Nanya aja ko. Oh iya, kuliah lu gimana? Lancar kan, Va?" Ujarku mengalihkan topik.
"Pusing kepala gua, kepala gua isinya pasal sama undang-undang semua." Ujar Sava.
"Punya kepala pusing, nggak punya kepala seram." Celetukku.
"Hahaha, sial. Lu gimana? Gimana rasanya jadi MABA?" Ucapnya sambil meledekku.
"Jir lah, gua tau gua gapyear kakak tingkatku hahaha. Aman ko Va, seru malah." Ucapku.
"Oh, ya? Seru gimana tuh? Cerita dikit dong adik tingkatku hahaha." Ucap Sava, dengan kembali meledekku.

Topik demi topik terus mengalir, aku menceritakan tentang keseruanku di awal perkuliahanku ketika menjadi mahasiswa baru, dia bercerita tentang kesehatan jiwanya selama diperkuliahan, dan tentang mantannya tercintanya Sava.

Sava pernah bernyanyi satu lagu untukku, suaranya sangat cantik, dan cara dia bernyanyi begitu apik. Dia mahir merubah suasana hati menggunakan kemampuan bernyanyinya. Dari sebagian orang, bernyanyi dapat merubah emosi pada dalam diri seseorang, merubah suasana hati dengan alunan yang terdengar sampai ke hati, Sava salah satunya.

Kami milih kampus dan prodi yang berbeda. Dia tengah pening karena ilmu-ilmu hukum, dan aku tengah terombang-ambing oleh sistem keuangan di nanajemen. Perbedaan pilihan kami menjadi topik yang kami sangkut pautkan, aku menjadi pengusaha bisnis, dan Sava kuasa hukumnya.
"Eh, lu sama Ana gimana? Cie yang abis ketemu." Ucapnya.
"Aman, Va. Kemarin gua ketemu sama dia cuma sebentar, soalnya Ana kesini karena kunjungan belajar dari kampusnya." Ujarku.
"Bagus deh kalau aman, jangan sampe lu nyakitin dia, nanti kalau lu lakuin itu sama aja kayak mantan gua." Ujarnya dengan serius.
"Iya, Va." Ucapku.

Aku dan Sava sudah seperti layaknya saudara, kami dekat dan berbagi cerita tentang hal-hal yang perlu, sampai tidak perlu. Tapi, tentunya dengan batasan-batasan yang seharusnya.

"Va, gua cabut ya, ada kelas sore, salam ya ke bunda. Budeh, aku pamit ya!"
"Hati-hati lu!" Seru Sava.

Sore itu kelas berisikan materi tentang hitung-hitungan yang membuat seisi kepala kami begitu suntuk, dan otak mengebul karena jenuh. Usai kelas Clara mengajak anak-anak 'iso raiso' nongkrong untuk melepas kejenuhan.

Iso Raiso sekumpulan orang yang berisikan diriku, Arkana, Hansel, Gavin, Natan, dan anak-anak perempuan seperti Clara, Gissela, Raqila, Azalea, dan Clarisa. Mereka semua seperti keluarga di kampusku. Hampir banyak dari kami memiliki permasalahan dan latar belakan yang sama.

Clara seperti menjadi google maps untuk anak-anak muda, dia mengetahui berbagai tempat menongkrong untuk kami tempati, agar kami dapat bernaung saat bermain. Entah bagaimana cara ia mengetahui tempat-tempat sampai jalan tikus yang sangat terpencil pun Clara mengetahuinya. Sungguh mengherankan, tapi itu lah sisi unik Clara.

Kalau Gissela, dia seperti ibu kami. Dia memiliki sosok seorang ibu karena perilakunya yang paling dewasa di antara kami, bisa menjadi penengah saat dari kami ada yang tengah bertengkar. Gissela berbanding tebalik dengan Clara, tapi keduanya sangat layak untuk dikatakan sebagai teman yang baik. Begitupun dengan yang lain, mereka benar-benar menghidupkan dunia perkuliahanku.

Tak bisa kupungkiri, mereka sangatlah ciamik dalam membangun ikatan tali pertemanan. Dari mereka tersimpan doa untuk terus bersama, dalam suka maupun duka.

Untuk terus menghabiskan waktu yang ada,
Kita perlu menuai cerita, untuk setiap kebersamaaan yang ada.

Untuk kembali pulang,
Perlu dimensi waktu dan ruang.
Penuh akan sebuah kenangan,
Pilu kesedihan, dan senyum kebahagiaan.

Apa rasa kedua dari kebersamaan?

Rasa-rasa akan pilu jikala perpisahan,
Rasa-rasa akan gemar jikala pertemuan.

Manusia benar adanya jika dikatan sebagai Homo Socius, yang di mana kita haruskan berhubungan sosial sesama manusia karena kita butuh. Keberuntungan tidak hanya terdapat pada hubungan percintaan, tetapi juga pada hubungan pertemanan. Banyak dari kita yang perlu relasi untuk sebuah akses, untuk sebuah bala bantuan. Ya, maksudku pandai-pandai dalam memilih pertemanan. Namun, pertemanan bak pisau bermata dua. Maka berhati-hatiilah.

Untuk saling mengasihi,
Untuk saling menyangi.
Setiap dari kita tidak ingin dibenci,
Bersih keraslah untuk terus menyangi, dan mengasihi.

Aku & Semesta [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang