𝓐𝓻𝓽𝓲

34 1 0
                                    

Berkelana menulusuri semesta.
Tidak memilih diam, untuk sebuah cerita.
Akan hari tua,
menceritakan sebuah kisah.
Tertulis di dalam aksara, dan semesta.

"Dek bangun, kamu nggak kuliah? Sudah mau siang loh ini, nanti kamu bisa telat!" Tanya ibu sambil membangunkanku.
"Selasa aku libur, bu. Nggak ada kelas, kosong jadwalnya." Jawabku yang masih mengantuk.
"Loh, kalau libur bantu ibu bisa dong jualan."
"Iya, bu. Aku bisa, tapi tunggu lima menit ya!"
"Tidur lagi nanti kamu, ayo cepat mandi!"
"Iyaaaa buuuuu.."

Setelah mengumpulkan nyawa, aku langsung mandi dan bersiap untuk membantu ibu berjualan. Kakak, dan adikku tidak ada di rumah karena mereka kuliah dan kerja. Aku membantu ibu menjual es teh.

"Bu, es batunya habis."
"Iya, nanti kamu telfon penjual es batunya."

Pembeli sangat ramai hari ini, mungkin karena ada diriku. Tidak, hanya bercanda. Setiap hari dagangan ibuku memang ramai, aku tidak terbayang jika saat anak-anaknya sedang kuliah dan kerja, ibuku harus mengerjakan ini semua sendirian.

"Mas, saya pesan es ya! Di tempat biasa, depan SD."
"Oke, siap. Segera meluncur!"

Saat es datang aku kembali melayani pelanggan, dengan pesanan yang begitu banyak, membuat aku sedikit kewalahan. Sedangkan ibu, sudah mengerjakan pekerjaan seperti ini, ibu juga berjualan dengan pesanan sebanyak ini.

....

"Biasanya seramai ini kalo berjualan?" Tanyaku dengan rasa penasaran.
"Iya, tapi terkadang bisa lebih ramai dari ini."
"Astaga, nggak kebayang capeknya. Yaudah, ibu istirahat saja. Aku yang handle jualannya hari ini."

Kami berjualan di halaman rumah, kebetulan rumah kami sangat dekat dengan sekolah-sekolah, yang jaraknya bisa terhitung begitu dekat. Bisa dibilang ini menguntukan untuk kami, karena kami tidak perlu mobilitas untuk mendapatkan keuntungan yang lumayan besar karena terletak di target pemasaran.

"Dek, jam tiga sore kita tutup warungnya ya!" Seru ibuku.

Karena sudah jarang ada pembeli, dan biasanya ibu sudah membuat takaran yang pas, supaya habis sesuai jam tutup kami.

"Iya, bu. Ini aku mau siap-siap untuk tutup warung."

...

"Kamu mau makan apa, dek?" Tanya ibuku.
"Aku ikut ibu sih, kan selagi bukan makanan yang ada kacangnya aku suka."

Aku memiliki alergi terhadap kacang. Sayang sekali, padahal kalau kata orang-orang makanan dengan bumbu kacang adalah makanan terenak di semesta. Ibuku memintaku untuk membeli gulai kambing.

Aku makan bersama ibu. Melihat ibu makan dengan begitu lahap membuat nafsu makanku bertambah. Gulai kambingnya begitu lezat dan gurih, ditambah lagi kuahnya yang pedas, membuat kami semakin berkeringat.

Setelah makan selesai, ibu bercerita panjang sekali. Mendengar cerita bahagia, sedih, bahkan sampai berkeluh kesah. Ibu kalau sudah cerita sedih pasti dia menangis. Aku sangat malas kalau ibu sudah bercerita sedih, bukannya tidak ingin, hanya saja tak kuasa jika harus melihat ibu mengeluarkan air matanya.

Aku sangat memaksimalkan deep talk ini, karena ibuku sangat pandai menyimpan segala masalahnya sendiri. Aku senang kalau ibu bercerita kepadaku, aku merasa kalau ibu nyaman kepada dirku, karena ibu menganggap aku dapat dijadikan tempatnya bercerita. Ibu pasti punya banyak masalah, tapi entah bagaimana caranya ibu mampu menghandle setiap masalah yang ada.

Rasanya masalah yang sudah ku dapat, tidak berarti apa-apa dibanding masalah ibu. Ibu mengajarkan diriku untuk tangguh, kuat dalam menghadapi masalah.

Ibu dulunya seorang primadona waktu muda, karena kecantikan dan kepintarannya membuat ibu dikagumi banyak orang. Ibuku juga memiliki bakat di luar akademik, dengan mengikuti berbagai cabang olahraga, membuat ibu memiliki banyak kelebihan saat ia muda. Ibu bahkan terpilih menjadi putri periangan di tempat ia tinggal.

Aku & Semesta [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang