"Jangan cengeng kalo jadi anak laki-laki!" bentak orang tuaku.
Aku tercengang menerima perkataan itu, menjadi tamparan keras yang mengenai alam bawa sadar di dalam diriku. Kupikir, dengan ku berbuat seperti yang selama ini aku lakukan dapat mengantarkanku ke impian yang selama ini kudambakan.
Aku tak ingin menyerah. Bagaimana bisa aku menyerah kalau aku adalah anak laki-laki pertama yang menjadi harapan keluarga. Memang aku bukan anak pertama, aku memiliki kakak perempuan yang menjadi anak pertama yang ada di silsilah keluargaku. Namun, kakakku seorang perempuan yang sudah seharusnya aku yang menjadi pemimpin jika ayahku tiada.
"Jangan biarin orang-orang merendahkan kamu! Kalo ayah nggak ada, siapa yang bakal jaga ibu kamu, kalo kamu lemah?" bentak orang tuaku.
Hingga saat ini aku tak pernah luput dari amarah orang tuaku. Rasanya sudah menjadi makanan sehari-hari aku dengan amarah kedua orang tuaku. Aku tau, semua itu dilakukan agar aku menjadi anak laki-laki yang nantinya akan tumbuh seperti harapan mereka.
Ibuku seorang ibu rumah tangga, ayahku bekerja dengan temannya. Aku bangga kepada mereka, karena mereka bertahan dengan segala liku-liku di alam semesta.
Ayahku pernah ditipu oleh rekan kerjanya kala itu, sehingga ayah dan ibuku harus kembali merintis karirnya dari awal lagi. Mirisnya, orang yang menjebak ayahku adalah rekan kerja sekaligus sahabat yang ayahku sangat percaya. Posisi ayahku mungkin yang diincar olehnya, sehinggaa orang itu rela melakukan hal kejam seperti itu ke orang tuaku.
Orang tuaku tidak mengajarkanku untuk balas dendam, bahkan untuk membenci orang itu, dan keturunannya tidak diizinkan oleh ibuku.Rasanya aku ingin marah ke semesta, karena semesta telah melakukan ini ke orang tuaku.
Memulai semua dari awal, memberikan diriku pelajaran yang tidak pernah ku dapat selama bersekolah. Mereka hebat, aku bangga.
Untuk semesta, tolong jaga orang tuaku.
...
Pagi hari yang hangat.
"Ayo semuanya kita sarapan dulu!" seru ibuku.
Ibu memasak masakan yang sangat enak sekali, dan aku sangat menyukainya. Mungkin, dibandingkan chef Renatta masih kalah dengan masakan ibuku.
Di atas lantai yang dingin kami makan lesehan bersama, dengan perasaan yang sangat gembira, dan senyum lepas yang sangat aku ingat membuat pagi itu menjadi pagi yang sangat hangat.
"Aku harap ini semua tak segera sirna."
Dekapan angan, menjadi kebahagiaan abadi.
Untuk ingin terus bersama kebahagiaan yang beriring."Teh tolong bersihin kamar, Aa bersihin kamar mandi, Adek bersihin ruang tamu. Ayo kita bersih-bersih." seru ibuku.
Aku ingin bersama, tapi kalau harus mencuci kamar mandi aku ogah banget rasanya.
"Baiklah, ayo kita membersihkan rumah!" ucap diriku dengan penuh semangat.
Pekerjaan yang berat sangat terasa ringan jika dikerjakan bersama-sama. Antusias kami untuk membersihkan rumah kala itu penuh euforia. Selang beberapa waktu kamu menyelesaikan sesi bersih-bersih, kami kembali berkumpul untuk menyantap cemilan yang sudah tersedia di depan tv untuk menemani kami bercengkerama.
Kisah sejarah perjanjian linggar jati sampai perjanjian roem royen, bahkan menjadi topik yang kami bicarakan. Segala macam hal yang ada di alam semesta menjadi topik perbincangan kami, dan kami tertawa terbahak-bahak ketika kami saling rebutan makanan ringan.
"Aku ingin hal seperti ini selalu aku rasakan." Harapanku selalu sama. Untuk yang kesekian, tentang angan.
Entahlah, hari itu semesta membuat waktu berjalan lama sekali. Menikmati setiap moment yang tercipta, merayakan kecil setiap hal yang dilakukan bersama.