𝓢𝓮𝓷𝓳𝓪 (bagian 3)

32 2 0
                                    

"Bu, aku cape banget deh. Badan aku pegel-pege bu." Ucapkan sambil memegang pinggangku bak remaja jompo.
"Kamu kan kemarin habis bepergian jauh , dan tiga hari pula. Jadi wajar saja kalau seperti ini." Ujar ibu.
"Aku boleh minta tolong kerokin nggak, bu?" Tanyaku.
"Boleh, sebentar ya nak." Jawab ibu.

Ibu mengerok badanku, katanya aku masuk angin karena angin laut. Sebab bentuk garis merah di badanku terlihat seperti gosong. Saat tengah proses mengerok, ibu memintaku bercerita tentang berbagai hal ketika aku di sana, tentang keseruan di sana, pengalaman apa saja yang didapat. Aku bercerita singkat mengenai apa saja yang sudah aku lakukan semasa di sana.

"Bu, aku lupa ngasih tau deh." Ujar diriku sebagai topik baru.
"Tentang apa nak?"
"Katanya dia mau kesini lagi bu, mau ada kegiatan dari pihak kampus untuk kunjungan belajar." Ucapku.
"Dia siapa?" Tanya ibu.
"Diaaa buu...."
"Oooh ibu tau."
"Kapan dia mau ke sini?" Tanya ibuku, seperti merasa penasaran.
"Katanya awal tahun bu, tanggal muda di januari."
"Yasudah, kamu nanti mau ketemu?" Tanya ibuku dengan tersenyum meledek kepadaku.
"Iya bu, kalau boleh." Jawabku dengan rasa malu.
"Iya nak, boleh."

Ibu mengizinkanku untuk bertemu, dan menjemputnya. Sontak saja aku lebih bahagia dari sebelumnya. Selang beberapa, hari aku mendapatkan kabar darinya kalau minggu pertama menjadi hari keberangkatan. Hanya berjarak dua minggu untuk setibanya ia di jakarta, mengharuskan diriku untuk menahan rindu sedikit lagi.

Tersimpan berjuta cerita,
tentang menahan rindu yang hampir tak kuasa.
Tersimpan berjuta cinta,
untuk pertemuan diantara kita.

...

Malam tahun baru tiba, malam penuh keramaian dengan diisi perayaan oleh triliunan manusia di jagat raya. Aku menjadi penikmat dari keindahan perayaan malam kembang api itu. Penuh harapan akan pencapaian-pencapaian di tahun berikutnya, membuat resolusi agar fokus memperbaiki diri.

Banyaknya luncuran kembang api yang mengarah ke langit, membuat banyaknya manusia terpukau termasuk diriku. Keindahan yang hanya bisa dilihat sekali dalam setahun, membuat diriku berbahagia bersama suara-suara letusan kembang api dan keramaian manusia di malam itu.

...

"Tahun baru kita tingkatin lagi lah semangat olahraganya!" Seru diriku ke temanku.
"Lah gas aja gua mah, lu jangan sok sibuk kayak kemarin-kemarin. Kurang-kurangin ituanya hahaha." Ucap temanku.
"Yeh, ta* lu."

Aku sering sekali jika pagi atau sore hari berolahraga di gelanggang olahraga dekat rumahku, aku juga mengikuti pembelajaran kalistenik. Ada satu orang yang menjadi pelatih dasar-dasar kalistenik, karena aku pernah ingin menjadi abdi negara, jadi menurutku tidak ada ruginya aku mengikuti pembelajaran tersebut.

"Ini kita push up berapa kali coach?"  Tanyaku
"Dua puluh lima kali, sanggup kan?" Ucap pelatih, dengan menyemangati kami.
"Sanggup!" Jawab kami sambil menahan rasa capek.

Kami terus berlatih rutin, dan pelatihan yang terprogram ini bertujuan agar otot-otot kami kuat. Rasanya aku ingin sekali memiliki semua peralatan ini semua di rumahku, agar aku tidak perlu harus kesini untuk berlatih. Namun, mungkin saja rasa semangatku akan menurun, jika aku meliliki semua fasilitas ini di rumahku. Di tempat ini juga aku dapat mendonorkan bakatku, di sini aku dapat bermain basket, dapat bermain bola di lapangan luas, dan bahkan berenang.

Di tempat ini sering sekali ada kejuaraan taekwondo, dari cabang nasional sampai international. Temanku sangat suka apabila saat kami ke sini dan berpasan dengan kejuaraan pasti kami sempatkan untuk menonton, hitung-hitung cuci mata katanya. Kami menikmati seni bela diri yang begitu memukau, walaupun banyak peserta masih terbilang memiliki usia yang muda.

Usai menonton, kami tetap melanjutkan kegiatan utama kami di sini. Kami harus melatih otot-otot kami agar kami tidak menjadi remaja yang hanya rebahan di kasur saja.

Sore hari, kelas panjat tebing dibuka. Kami berdua ingin sekali mencoba panjat tebing sampai ke puncak, ini bukan kali pertama bagiku, tapi kali pertama bagi temanku.

"Ih gila, ini tinggi banget!" Ucap temanku dengan mental tempenya.
"Ya elah, gini doang masa nggak berani. Malu lu sama bocah." Ucapku.
"Bukan gitu jir, gua nggak pernah naik-naik beginian." Jawabnya dengan rasa takut.
"Udah.. Udah diem ya bawel! Pak, ini tolong dia mau naik bisa kan pak?" Tanyaku kepada tim panjat tebing.
"Bisa kok mas." Jawabnya.
"Gua takut ta*" Bisiknya ke telingaku.
"Suutttt... Mending lu baca doa dah hahahaha."

Akhirnya temanku mencoba kali pertamanya memanjat tebing, melihatnya ketika naik aku cukup terkesan, namun rasa kesan itu dibalas dengan tawa. Karena melihat dirinya ketika ingin turun tidak berani, katanya ketika memanjat ia tidak melihat ke bawah, dan ketika turun harus melihat ke bawah jadi ia seperti merasa di atas ketinggian yang begitu tinggi, sehingga dirinya tidak dapat memberanikan diri untuk turun.
"Yeh, pea lu ya. Merinding gua." Katanya dengan rasa takut namun lega, sudah mencoba untuk pertama kalinya.
"Tapi tadi lu gokil sih, bisa sampai setengah lebih gitu manjatnya, bentar lagi sampe puncak tebing itu." Ujarku padanya dengan sedikit tertawa.
"Ah nggak dah, skip gua sampai tebing." Jawabnya.

Setelah dia turun, aku yang selanjutnya mendaki tebing. Aku berusaha untuk membalas percobaan pertamaku yang gagal sampai puncak tebing. Aku mendaki dengan sekuat tenaga, namun aku hampir saja tergelincir karena salah meletakkan pijakan. Aku berusaha untuk kembali fokus agar langkah-langkah dan cengkramanku tidak salah. Akhirnya aku berhasil membalaskan dendamku sebelumnya yang tidak mencapai titik yang ingin ku raih.

...
"Eh, kata ibu lu dia mau ke sini lagi. Beneran?" Tanya temanku.
"Kok? Umi ngasih tau lu? Iya, katanya dia mau kesini tiga hari lagi." Jawabku.
"Beh kacau, ke rumah tantenya lagi atau gimana?" Tanya temanku, karena di pertemuan pertama dia ikut menemaniku.
"Enggak, dia cuma di sini bentar, ada kunjungan belajar di kota tua sama nanti di pertengahan bulan dia ke kantor keuangan di jakarta." Jawabku sambil menjelaskan maksud dan tujuan kedatangannya.

Pukul 18.00 selalu menjadi jam usai berolahraga. Aku dan temanku segera berjalan pulang, kami selalu melakukan aktivitas seperti ini dikala senggang. Hidup sehat saja masih banyak penyakit yang bisa saja terjangkit kapanpun itu, bagaimana jika pola hidup tidak sehat. Maksudku, sehat itu mahal jadi jika diberikan maka jagalah.

Aku & Semesta [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang