Seandainya Masih Bersama

17 3 0
                                    

Juan telah dipindahkan keruang rawat. Dia hanya mengalami beberapa luka ringan akibat terseret beberapa meter, namun lengan kanannya harus digips.

Kini, ia tengah duduk diatas tempat tidurnya. Menyaksikan berita pagi di tv tentang hilangnya sebuah pesawat dengan penerbangan Korea-China.

Jantungnya berdebar sangat kencang, matanya perih. Pikirannya kacau, ia hanya ingin pergi, namun kemana? Entah.

"Apa yang terjadi?" Racaunya, kacau. Keluar ruangan tanpa alas kaki.

"Dia.. tidak mungin.."

"Aku, harus pergi."

"Kemana? Bandara, dimana?"

"Apa ada yang tahu aku dimana? Siapapun.."

"A-apa yang terjadi? Aku harus pergi kebandara."

Haikal yang nampalnya baru saja tiba, melihat Juan yang linglung pun langsung mengejar anak itu. Sebab jika tidak..

Cieeet...

Sebuah mobil sedan hampir saja menabraknya, jika ia tak segera menarik kerah pakaian rumah sakit Juan. Kemudian, membawa laki-laki itu menepi untuk duduk disebuah beton, dibawah pohon yang rindang.

"Tuan! Apa yang terjadi? Saya memeriksa kamar Tuan, tapi Tuan tidak ada."

Haikal menghela nafas. "Pak Lee, antar dia kembali kekamarnya."

"Tidak.. tidak.. aku harus pergi. Bandara.. dia pasti membutuhkanku sekarang, aku harus pergi." Racau Juan pelan, hampir berbisik.

"Hah? Apa maksudmu? Katakan dengan jelas!"

Sontak, saat itu juga Juan langsung menengadah, menatap kearahnya.

"Huh? Apa yang aku katakan?"

"Ck! Kau bilang kau harus pergi, tapi kau terus berbisik. Aku tidak tahu apa maumu." Ucap Haikal, kesal.

"E-eoh?"

"Aku rasa yang patah tangan kananmu, bukan otakmu. Kenapa kau jadi begini?" Sembari memegangi kedua pingganya.

"Mungkin anda ingin ke bandara, Tuan?" Juan langsung menoleh, ia lantas mengangguk antusias dengan wajah yang sulit diartikan, dalam artian kebingungan.

"Kenapa harus bandara?" Tanya Haikal menggaruk tengguk kepalanya yang tak gatal.

🌱

"Kabar tentang hilangnya pesawat yang mengangkut 98 penumpang sudah beredar sejak kemarin, apa kau sungguh tidak mengetahuinya?" Tanya Pak Lee sambil menyetir.

Sesekali melihat keadaan Tuannya dari dashboard, menatap kaca mobil tanpa mengatakan apa-apa.

"Aku tidak tahu, sungguh. Karena sebentar lagi ujian, dia mengambil ponselku."

"Pantas saja.. jadi Ayahmu masih melakukannya?"

"Em.. kadang aku berharap aku saja yang pergi. Tanpa anak yang tidak tahu diri ini, dia akan baik-baik saja."

"Kau bisa mengatakan itu, tapi saat kau menjadi seorang Ayah kau sungguh ingin anak laki-lakimu menjadi lebih hebat darimu."

"Jeno pasti bangga memiliki Ayah sepertimu."

"Andai saja dia tidak menyerah." Sembari menghela nafasnya lemah.

"Pak lee?"

"Iya?"

Dunia Renjana-Renjun (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang