Masih Tentangmu

35 6 0
                                    

Aku berjalan selangkah demi selangkah menyusuri jalanan tanpa tujuan, sekantung tas belanjaan dimasing-masing tanganku sudah kubawa berjalan sejak aku keluar dari swalayan satu jam yang lalu.

Aku benar-benar tak tahu kenapa dan kemana aku akan pergi, karena setiap sudut dikota ini malah terus mengingatkanku pada laki-laki polos dengan senyuman hangat yang selalu menampilkan wajah bahwa ia baik-baik saja.

Ada persimpangan dekat toko kue, dimana kami pernah beristirahat ketika mengayuh sepeda mencari tempat berteduh sepulang sekolah.

Ada toko kaset yang aku dan dia pernah jajali, kami membeli sebuah kaset musik tua dengan lirik kuno dan musik jadul yang ia suka.

Kemudian jembatan penyebrangan dimana setiap sore kami selalu menghitung jumlah mobil hitam dan putih. Dan siapa yang paling banyak menghitung, dia yang akan dapat ice cream dengan toping super banyak yang dibayar oleh orang yang kalah.

Aku juga sempat melalui tempat itu, dermaga yang tak jauh dari tempatku tinggal. Biasanya, dia dan aku hanya akan diam menikmati matahari terbenam, menatap kaki-kaki kami yang menjuntai ke air asin yang hangat, atau diam menunggu salah satu dari kami membuka pembicaraan dan berakhir pulang malam karena puas menceritakan banyak hal tentang kemarin, hari ini, dan kemungkinan terbaik yang sempat kami harapkan terjadi di masa depan.

Namun pada kenyataannya, harapan-harapan yang sempat kami utaran disetiap sore itu tak satu pun akan terwujud olehnya.

Kakiku berhenti tepat didepan pintu apartemenku, aku memutuskan untuk tinggal sendiri sembari mengambil pekerjaan paruh waktu setelah beberapa hari lalu harusnya kami lulus bersamaan.

Namun pada kenyataannya, dia meninggalkanku sendiri.

Ada lubang besar didadaku sejak kejadian beberapa waktu lalu, ini masih membekas dan aku tak tahu apa yang akan menjadi obat atas rasa kehilangan yang aku rasakan saat ini. Aku bimbang, jika biasanya dia akan meminjamkan bahunya untuk aku menangis sepuasnya.

Sekarang, untuk kali ini.. dia hilang sejak hari disore itu.

🌱

"Haikaaaaal!!!"

"Aaaa!!! Cukup Renjana, cukup! Baik, baik aku bersedia. Tolong jangan bagian itu, aku akan memakannya nanti malam. Ayo kita kelapangan dan ku ajari kau melawan musuh."

Renjana mepoutkan bibirnya. "Aku tidak ingin memakan kuemu. Aku juga tidak ingin melawan musuh. Aku hanya ingin tahu bagaimana kau bisa mahir bermain bola basket."

Nara jelas hanya terkekeh senang melihat Haikal tertekan atas ulahnya yang membawa Renjana kemari setelah pulang sekolah, ia bangga sambil menyemili camilan yang ia ambil sendiri dari lemari makanan rumah Haikal yang megah.

Anak itu punya segalanya, tenang saja, ia takkan jatuh miskin hanya karena Nara mengambil satu bungkus keripik singkong dan susu stroberi dari dapurnya.

"Dan kau!" Haikal menatap sinis pada Nara yang kelewat santai duduk terbaring menikmati camilannya.

"Apa?!" Gadis itu takkan mungkin mau kalah dari seorang Haikal.

Sedang Nara dan Haikal beradu mulut di hadapannya, laki-laki berseragam sekolah dengan jaket abu zipper kebesaran yang menyelimuti tubuh mungil itu masih setia berdiri. Melirik dua orang di hadapannya secara bergantian, sambil memegangi bola basket dengan ke dua tangan mungil yang tadi sempat akan ia lempar di dalam rumah.

Dunia Renjana-Renjun (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang