28-Janji Kaivan

4.4K 492 152
                                    

Kaivan datang ke rumah sakit dengan perasaan yang mencoba baik-baik saja. Kejadian di rumah tadi ia lupakan untuk sejenak. Persetan dengan segala rencana apa pun yang sedang disusun oleh orang tua dan kakaknya. Kaivan tak akan pernah sudi menyetujui kesepakatan untuk melepas Kairav pergi begitu saja.

Kaivan bergegas menuju ICCU sebab jam besuk hanya tersisa sebentar. Ia melakukan beberapa prosedur sebelum masuk ke dalam. Kaivan menarik napas panjang, berusaha mengontrol perasaan yang masih terbawa pada kejadian di rumah. Ia berjalan mendekati ranjang adiknya, memberikan sedikit senyum saat Kairav masih terjaga dan menyadari kedatangannya.

Kaivan duduk di kursi sebelah ranjang, memandangi keadaan Kairav dengan tatapan sendu. Melihat alat-alat mengerikan di tubuh adiknya dalam jarak dekat, nyatanya memberikan rasa takut untuknya semakin hebat. Kaivan tak pernah suka melihat semua benda itu, sehingga jarang sekali ia membesuk Kairav jika adiknya itu ada di ruang ICCU.

Kairav berusaha mengulas senyum di wajahnya yang masih pucat. Kali ini, endotrakeal tube telah dilepas, diganti dengan masker oksigen khusus untuk terapi oksigen dengan konsentrasi tinggi. Ia juga masih belum bisa banyak berbicara sebab tenggorokannya terasa perih karena efek pemasangan endotrakeal tube. Meski begitu, Kairav merasa senang karena akhirnya dapat melihat Kaivan datang. Sedari tadi, ia sudah menunggu kedatangan anggota keluarganya.

"Semua ini ... bikin sakit, ya?" tanya Kaivan selagi memandang mata Kairav yang terlihat sayu. Dari cara bernapasnya pun Kaivan sadar jika kondisi adiknya memang masih buruk. "Antara 1 sampai 10, sakitnya ada di angka berapa?"

Kairav berpikir sesaat, sampai akhirnya berucap lirih, "tujuh."

Meski pelan, Kaivan dapat menebak jawaban Kairav dari gerak bibir lelaki itu. "Yakin cuma tujuh?"

Kairav mengangguk ragu. Ia hanya menjawab asal. Rasanya, ia pernah mengalami rasa sakit yang lebih menyiksa dari sekarang. Angka tujuh kiranya cukup untuk mendeskripsikan kondisinya saat ini.

Kaivan tak begitu yakin. Jika sakitnya masih ada di angka tujuh, sepertinya tak mungkin jika adiknya itu sampai ingin menyerah. "Kalau tujuh, lo masih bisa tahan kan?"

"Bisa."

Kaivan mengangguk. "Harus. Lo harus bisa ya, gue nanti bantu ringanin sakitnya walaupun cuma lewat doa."

Kairav mengulas senyum lebih lebar. "Makasih."

Kaivan mengeluarkan beberapa lembar foto yang ia bawa. Lantas, lelaki itu memperlihatkannya pada Kairav satu per satu. "Liat nih, gue cetak foto-foto kita pas nonton konser waktu itu. Nanti lo bisa pajang di kamar, atau mau ditempel di buku jurnal lo juga bisa. Kalau mau cetak yang lebih besar juga boleh, biar lo bisa pajang di tembok kamar."

Kairav tak lepas memandangi beberapa potret foto yang Kaivan perlihatkan. Ia nyaris lupa jika sebelum insiden hari itu, ia dan Kaivan sempat bersenang-senang menonton konser band favorit mereka. Kairav diingatkan kembali dengan kesenangan itu, ia mulai mengingat setiap detail kejadiannya.

"Van ...."

"Ya? Kenapa? Lo butuh sesuatu?" Kaivan menyimpan kembali foto-foto di tangannya, kini ia sepenuhnya fokus pada Kairav. "Kenapa, Rav?" tanyanya saat Kairav masih saja diam dan menatapnya begitu lekat.

Entah mengapa, ia justru takut jika Kairav sedang berusaha mengingat wajahnya untuk yang terakhir kali. Inilah alasan besar mengapa Kaivan sangat benci dengan ruang dingin ICCU. Segala yang adiknya lakukan terasa seperti hendak pamit untuk meninggalkannya.

"Jangan natap gue kayak gitu, gue nggak suka. Jangan ngomong yang nggak baik, gue nggak pengin denger."

Dari melihat wajahnya, Kairav menyadari jika Kaivan sedang memendam takut. "Makasih udah jenguk ke sini. Gue---"

The Good Bad Brother✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang