Zafran merasa sangat hancur ketika mengingat kejadian di dalam ruang ICCU tadi. Ia bahkan masih belum berani menemui orang tuanya untuk sekadar memberitahu tentang keadaan Kairav. Lelaki itu memilih untuk diam sendirian di lorong sepi, membangun kembali ketegaran diri yang tercerai-berai. Bayang wajah penuh keputusasaan serta perkataan menyakitkan adiknya masih terekam jelas dalam benak.
Zafran mendongak kala sebuah botol minuman dingin tersodor di hadapannya. Ia menemukan wajah teduh seorang pria dengan senyum ramah yang terlukis di sana. Zafran segera menegakkan posisi duduknya, lantas menerima uluran minuman itu usai kembali dipersilakan.
"Terima kasih, Dok," ucap Zafran pada seorang yang tak lain adalah Dokter Arya. Ia lantas mempersilakan pria itu untuk duduk di sebelahnya.
"Kamu nggak harus selalu sembunyiin kesedihan kamu di depan semua orang, Zafran." Arya buka suara, menatap lelaki yang selama ini ia anggap sebagai seorang anak didik, bahkan anaknya sendiri.
Arya tahu persis jika Zafran sedang merasa hancur. Jika dalam kondisi seperti itu, ia sering menemukan Zafran berakhir menyendiri sembari menyusun lagi kepingan hatinya yang berantakan. Zafran terlihat harus selalu memiliki bahu yang kokoh, meski sebagai manusia juga memiliki batas atas kemampuannya.
"Saya cuma nggak pengin bawa energi negatif ke orang tua saya, Dok. Mereka pasti bakal lebih sedih kalau lihat saya kayak gini."
"Zafran, Arav masih bisa kita selamatkan. Dia lebih kuat dari yang kita kira. Saya udah pernah bilang kan, kalau kamu mau ikut bertanggungjawab atas adik kamu, tempatkan diri kamu sebagai seorang dokter. Jangan pernah putus asa karena harapan itu masih ada."
Zafran merenungi kembali perkataan Arya. Selama ini, ia memang ingin mendedikasikan hidup untuk keluarganya. Ia memilih jalan untuk menjadi seorang dokter karena ingin menyembuhkan adiknya. Namun seiring waktu berjalan, semakin ia tahu dan paham tentang kondisi Kairav, semakin besar pula ketakutan yang harus ia tahan.
"Hal yang paling saya takuti udah terjadi, Dok. Saya bisa punya banyak keyakinan karena selama ini Arav juga yakin dia bakal sembuh. Tapi tadi ... pertama kalinya saya lihat dia putus asa. Dia bahkan terang-terangan bilang ke saya kalau dia pengin mati aja." Zafran masih sangat terbayang dengan Kairav yang seperti ingin mengakhiri hidupnya sendiri. Di titik itu, Zafran benar-benar merasa gagal. Ia tidak bisa menjaga adik-adiknya dengan baik hingga berakhir seperti ini.
Arya mengangguk, paham dengan perasaan Zafran. Ia sudah tahu masalah apa yang sedang terjadi di keluarga lelaki itu hingga menciptakan situasi seperti sekarang. Melihat orang tersayang yang selama ini memiliki semangat hidup tinggi tapi tiba-tiba berkata ingin mati, jelas bukan hal mudah.
"Kita masih bisa berusaha buat balikin lagi keyakinan Arav. Kalau perlu, nanti saya hubungi psikiater buat bantu Arav keluar dari bayang-bayang sakitnya. Kamu juga harus yakin, Zaf, nggak boleh ada keraguan selama masih ada harapan."
Zafran mengangguk. Ia sadar jika dirinya tidak boleh berprasangka buruk dan pasrah begitu saja. Adiknya pasti akan sembuh dan Zafran akan berusaha untuk itu.
***
Setelah berhari-hari ditempatkan di ICCU, akhirnya Kairav bisa terlepas dari ruangan itu. Ia dipindahkan ke ruang rawat sejak kemarin. Kondisi fisiknya sudah membaik, tapi tidak dengan luka batinnya. Lelaki itu kini lebih pendiam dan sering murung. Emosinya tak stabil, bahkan tak segan menolak makan dan mengonsumsi obat. Sehari-hari, anak itu hanya berbicara seperlunya dan membuat semua orang bertanya-tanya.
Nayra duduk di sebelah ranjang, mengamati Kairav yang sedang makan. Tadi, ia menawarkan agar menyuapinya saja sebab Kairav terlihat lemas. Tapi anak itu menolak keras hingga akhirnya Nayra pasrah. Setidaknya hari ini Kairav sudah berkenan untuk makan tanpa harus dibujuk sampai lelah.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Good Bad Brother✔️
Roman pour Adolescents[Brothership/Sicklit/Slice of Life] Monoton. Kiranya begitu hidup Kairav selama ini. Ia tidak memiliki lingkup pertemanan yang luas, tidak pernah tahu bagaimana kehidupan di luar sana berjalan, tidak paham pula rasanya menjadi manusia yang punya ban...