Zafran merasa dadanya begitu sesak saat usaha dokter dan perawat untuk mengembalikan detak jantung adiknya, sampai saat ini belum membuahkan hasil. Semua orang sudah tampak sama-sama lelah usai bermenit-menit melakukan RJP secara bergantian. Tapi, layar EKG masih menunjukkan kondisi vital yang buruk.
"Isi 200 joule." Dokter Arya memberikan instruksi untuk mengisi daya defibrilator. "I'm clear, you clear, everybody clear? Shock." Tubuh Kairav sedikit tersentak usai defibrilator dikejutkan ke dadanya untuk membantu menormalkan denyut jantung. "Lanjutkan RJP!"
Seorang perawat lelaki segera memberikan resusitasi dengan menekan dada Kairav. Keringat telah mengucur di wajah orang itu, begitupun dengan yang lain.
Zafran yang turut dalam pemberian tindakan pun kini telah berbanjir keringat. Napasnya masih tersengal, tapi ia tidak ingin menyerah. Ia yakin jika adiknya masih dapat diselamatkan.
"Switch!" Setelah 2 menit, Arya menginstruksikan perawat untuk berganti memberikan RJP, lantas ia melakukan analisa EKG. "Asistol. Terus lakukan RJP." Arya menggeleng pelan saat layar EKG kembali menampilkan garis lurus dengan suara denging yang konstan. "Siapkan epinefrin 1 mg!"
Menit demi menit berlalu, tiada perubahan yang berarti. Zafran menyingkirkan perawat yang sudah kelelahan, kemudian naik ke brankar untuk berganti melakukan RJP. Ia menekan dada adiknya tanpa melihat wajah anak itu. Sebab jika melihatnya, maka ia akan runtuh seruntuh-runtuhnya.
"Ayo, Arav, Arav pasti bisa." Zafran tak peduli pada keringat yang membanjiri tubuh, juga pada napasnya yang sudah tersengal-sengal. Tulang rusuk adiknya juga mungkin patah karena terus-menerus mendapatkan tekanan. Tapi Zafran bisa memikirkan itu nanti asalkan ia dapat lebih dulu mengembalikan detak jantung Kairav.
"Dokter Zafran ... cukup," ucap Arya saat menyadari jika mereka sudah sangat lama berusaha. Sekuat apa pun tekadnya menolong Kairav, nyatanya ada batasan yang tak dapat dijangkau sebagai seorang manusia biasa.
"Enggak! Adik saya masih bisa diselamatkan!" sentak Zafran, tak peduli pada siapa ia tengah berbicara.
"Tindakan kamu hanya akan semakin menyakiti Arav. Cukup."
Zafran menggeleng keras. Ia terus melakukan resusitasi dengan tenaga yang kian terkikis. Lelaki itu meminta perawat untuk mengecek tanda vital adiknya dan tetap memompa ambubag.
"Dokter Zafran ...."
"Belum, Dok, saya masih ingin berusaha!"
Arya tak dapat tinggal diam sebab Zafran sudah sangat berantakan. Jika dibiarkan, mungkin lelaki itu juga akan berakhir tumbang karena kelelahan.
"Saya bilang cukup!"
"Belum, Arav belum pergi, Dok."
"Zafran! Kendalikan diri kamu ... sudah cukup."
Gerakan tangan Zafran mulai memelan. Ia menatap wajah adiknya yang tanpa sedikitpun rona dan matanya terpejam erat. Satu isakan berhasil lolos ketika Zafran merasa bersalah sebab terus menyakiti dada adiknya dengan memberikan RJP.
Zafran akhirnya turun dari ranjang. Tubuhnya terhuyung dan nyaris jatuh andaikan Arya tak segera menahannya. Menolak bantuan Arya, Zafran mendekati adiknya dengan langkah terseok. Ia sejenak menatap wajah tenang Kairav, membiarkan perawat melepas endotrakeal tube di mulut adiknya yang terhubung dengan ambu bag.
Mesin EKG telah dimatikan usai Dokter Arya mengumumkan waktu kematian Kairav. Bersamaan dengan itu, Zafran kembali terisak. Ia melepas kabel elektroda yang menempel di dada Kairav, lantas mengusap-usap dada adiknya yang masih terekspos.
"Ini sakit banget, ya? Maafin Kakak," ucap Zafran dengan suara yang bergetar hebat. Ia merunduk, mendekatkan wajahnya dengan sang adik. Ia usap pipi anak itu, menatap setiap lekuk wajahnya yang terlihat begitu damai. "Maaf ... maafin Kakak. Maafin Kakak nggak bisa nolong Arav."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Good Bad Brother✔️
Novela Juvenil[Brothership/Sicklit/Slice of Life] Monoton. Kiranya begitu hidup Kairav selama ini. Ia tidak memiliki lingkup pertemanan yang luas, tidak pernah tahu bagaimana kehidupan di luar sana berjalan, tidak paham pula rasanya menjadi manusia yang punya ban...