Nayra memasuki kamar putra bungsunya pagi-pagi sekali. Ia hendak membangunkan Kairav sebab hari ini adalah hari terakhir ospek. Meski tak tega setiap kali melihat wajah tenang Kairav dalam tidurnya, Nayra tetap membangunkan daripada kejadian telat seperti hari pertama terulang.
Wanita itu duduk di tepi ranjang, mengusap pipi Kairav dengan lembut. Ia mengernyit saat suhu panas menyengat tangannya. Nayra pun beralih untuk mengecek kening dan leher Kairav, hingga suhu yang sama dirasakannya. Kairav demam.
"Arav ... mau bangun nggak?" Nayra masih mengusap-usap pipi Kairav. Ia tidak akan memaksa jika Kairav masih butuh tidur, sebab tampaknya anak itu sedang sakit. Ia sebenarnya sudah menduga dari semalam karena semenjak pulang kemarin, Kairav sudah terlihat tak sehat.
"Arav ...."
"Huum ... sebentar," gumam Kairav dengan suara paraunya. Beberapa detik kemudian, ia membuka mata. Rasa panas di kelopak mata membuatnya sesekali terpejam kembali. Kepalanya pun sedikit pusing dan Kairav pelan-pelan mulai menyadari jika tubuhnya terserang demam.
"Mau berangkat nggak? Kamu demam," ucap Nayra seraya mengambil termometer di laci nakas. Ia mengecek suhu tubuh Kairav dan mendapati angka 38,4 tertera di sana. "Tinggi loh, nggak usah berangkat ya? Nanti Bunda suruh Ayah anter surat izinnya ke kampus. Pusing nggak kepalanya?" Nayra mengusap kening Kairav, menatap anak itu khawatir.
"Berangkat aja Bunda, nanggung tinggal sehari," ucap Kairav yang masih mengumpulkan sepenuhnya nyawa. Ia menilik jam, mengembuskan napas lega saat waktu masih panjang. Ia tidak harus buru-buru untuk bersiap.
"Lumayan tinggi tapi demamnya. 38,4 ini loh, pusing pasti kan?" ucap Nayra sembari memperlihatkan termometer pada Kairav.
"Nanti minum obat, pasti turun."
"Bunda bilang ke Kakak aja deh. Kalo Kakak bilang enggak, berarti enggak."
"Nanti aku VC Kakak."
"Nggak mau, Bunda yang bilang sendiri." Nayra bangkit dari duduknya, lantas keluar untuk menghubungi Zafran. Lelaki itu masih berada di rumah sakit karena mendapat shift jaga malam di IGD. Biasanya baru akan sampai rumah sekitar jam 8 pagi.
Setelah sang bunda keluar, Kairav segera mencari ponselnya untuk lebih dulu menghubungi Zafran. Ia mencari kontak sang kakak lantas melakukan panggilan video. Butuh beberapa lama sampai akhirnya Zafran mengangkat panggilan.
"Kenapa, Rav?"
Kairav memandang figur kakaknya di layar ponsel. "Kakak lagi sibuk nggak?"
"Enggak, kenapa pagi-pagi VC?" Di tempatnya, Zafran sedang keheranan. Terlebih melihat Kairav yang seperti baru bangun tidur. Bahkan masih tampak nyaman berbaring di kasur. Tak biasanya adiknya itu melakukan panggilan video pagi buta seperti ini.
"Aku demam, sama Bunda nggak dibolehin berangkat. Tapi kalo Kakak izinin, sama Bunda pasti boleh juga."
Zafran tampak menghela napas, paham betul tabiat adiknya. "Coba cek suhu, berapa?"
"37,4, masih nggak tinggi-tinggi amat," ucap Kairav, sengaja mengurangi satu dari suhu yang sebenarnya. Ia pikir tidak apa karena sehabis minum obat pasti suhu tubuhnya akan kembali normal. "Nanti habis minum obat pasti turun. Sekarang aku juga ngerasa baik-baik aja. Bolehin ya? Nanggung banget tinggal sehari, Kak."
Kairav masih terus memandangi kakaknya yang terlihat sedang menimang. Karena tak sabar, ia kembali bertanya. "Boleh nggak???"
"Hm. Dengan syarat."
Kairav tersenyum senang mendengarnya. "Makasih, Kak. Nanti Kakak bilang ke Bunda ya. Love you, semangat kerjanya." Kairav segera mematikan sambungan telepon sebelum kakaknya memaparkan syarat yang dimaksud. Tanpa dijelaskan pun sebenarnya ia sudah hafal di luar kepala. Kesimpulannya hanya; ia harus menjaga diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Good Bad Brother✔️
Roman pour Adolescents[Brothership/Sicklit/Slice of Life] Monoton. Kiranya begitu hidup Kairav selama ini. Ia tidak memiliki lingkup pertemanan yang luas, tidak pernah tahu bagaimana kehidupan di luar sana berjalan, tidak paham pula rasanya menjadi manusia yang punya ban...