Kaivan duduk di pinggiran ranjang dengan kepala sedikit tertunduk. Ia sedang merasa-rasakan sensasi aneh di perutnya usai bolak-balik ke kamar mandi hanya untuk muntah. Ia mulai menyesal karena mencoba meminum minuman alkohol dalam jumlah banyak. Perutnya benar-benar perih dan kepalanya juga pusing.
Ketika bangun tadi, Kaivan sadar ia bukan berada di kamar kos, melainkan kamarnya di rumah. Pakaiannya pun sudah diganti dan Kaivan yakin kehadiran Zafran malam tadi bukanlah halusinasinya semata. Ia kini sedikit malu, takut ada hal-hal konyol yang ia lakukan selama mabuk.
"Nih minum, air jahe."
Kaivan mengangkat pandang saat sebuah gelas disodorkan di hadapannya. Ia menerima uluran gelas itu dari sang kakak. Setelah memastikan rasa mualnya sudah mereda, lelaki itu menggeser tubuh dan bersandar pada kepala ranjang sebab masih merasa lemas dan pusing. Air jahe di gelas itu hanya Kaivan minum sedikit sebelum ia taruh di atas nakas.
"Nggak kuat minum alkohol tapi sok-sokan. Semalem kalo neguk dikit lagi kamu bisa masuk IGD itu," ucap Zafran yang sudah duduk di pinggiran ranjang berhadapan dengan adiknya.
"Nggak papa, biar sekali-kali nyobain kasur IGD."
Zafran langsung mendelik, memukul kaki Kaivan sedikit keras. "Kalo ngomong nggak pernah dipikir dulu."
"Biarin. Kalo gue yang sakit, kalian bakal sedih juga nggak sih? Di pikiran gue nggak ada bayangan kalian bakal nangisin gue kayak kalian nangisin Arav."
Zafran tak menjawab ucapan Kaivan. Ia sibuk mengamati adiknya dan menerka-nerka, seterluka apa hatinya, sehingga sosok anak kecil dalam tubuh remaja itu tampak masih sangat melekat.
"Kakak penasaran, berapa persen rasa percaya kamu kalau kita itu sayang sama kamu? Apa udah nggak ada sama sekali?"
"Emangnya kalian sayang? Lebih-lebih Ayah. Kalo sayang nggak akan mukul, Kak. Lo sama Arav mah enak dibaikin mulu sama Ayah. Gue doang yang dimarah-marahin mulu sampe kena gampar."
"Emang iya? Emang kamu tau kalo Ayah nggak pernah mukul Kakak?"
Kaivan mengerutkan keningnya. "Ya nggak mungkin, lah. Justru lo anak kesayangannya dia, secara lo itu pinter, penurut, bisa ngasih duit juga tuh yang paling penting."
Zafran tertawa kecil sambil geleng-geleng kepala. "Ya gitulah kalo cuma lihat dari cover-nya aja, jadi salah paham."
"Lah, kan emang gitu. Gue salah?"
"Banget. Dikiranya Ayah nggak pernah gitu marahin Kakak? Justru sering, cuma ya nggak di depan kamu aja, apalagi di depan Arav."
Kaivan seketika bertanya-tanya. Baginya, Zafran adalah sosok anak yang paling sempurna yang dikirimkan Tuhan untuk orang tuanya. Sangat tidak mungkin jika kakaknya itu melakukan suatu hal yang membuat Pram sampai marah-marah seperti memarahinya.
"Emang lo ngapain?"
"Ya ada lah, hal-hal yang nggak perlu Kakak ceritain. Contoh kecil aja nih, waktu dulu kamu masih sekolah. Kalau kamu pulang larut tapi nggak Kakak cariin, itu yang dimarahin ya Kakak juga. Dipikir Ayah marahnya cuma ke kamu?"
Kaivan tidak menyangka jika ternyata sang kakak sering terkena imbas karena kenakalannya. Ia jadi merasa bersalah, pantas saja ketika itu Zafran sangat marah saat tahu dirinya berani merokok. "Kalo Ayah tau gue ngerokok sama minum-minum, lo bakal dimarahin juga?"
Zafran mengendikkan bahu. "Bisa jadi. Intinya Ayah selalu bilang kalau Kakak juga punya tanggung jawab buat jagain adik-adiknya."
"Ish, ngeselin banget si Ayah. Nggak bisa banget lihat orang seneng dikit aja. Lo kenapa nggak ngelawan, sih? Harusnya tuh lo lawan, jangan mau-mauan aja dimarah-marahin mulu."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Good Bad Brother✔️
Roman pour Adolescents[Brothership/Sicklit/Slice of Life] Monoton. Kiranya begitu hidup Kairav selama ini. Ia tidak memiliki lingkup pertemanan yang luas, tidak pernah tahu bagaimana kehidupan di luar sana berjalan, tidak paham pula rasanya menjadi manusia yang punya ban...